Thursday, 23 February 2012

004. Red Heart - Kisah Seorang dengan Cacat Permanen


Kisah Seorang dengan Cacat Permanent
Penulis : Chandry Wartono
Feb 21 2012

                        Ini hanya sebuah kisah kecil dimana seorang manusia yang tengah kehilangan anggota tubuhnya dan tidak bersemangat melanjutkan hidupnya. Namun karena semangat yang dilontarkan terus menerus oleh seseorang yang terus mendukungnya untuk hidup, maka ia menjadi seseorang yang optimis. Hidupnya berubah, dan juga, ia berbahagia.

                Oct, 28, tahun x
                Namaku Rue, dan aku adalah seorang mahasiswa di kampus St1-Comp, jurusan komputer. Beat One Trans Interest, demikian julukan kelas yang tengah kutempati. Saat itu dalam kelas yang tengah ribut pada siang itu, tengah kedatangan seorang mahasiswi baru ; pindahan dari kota sebelah.
                Mina, demikian ia mempernalkan dirinya. Ketika dosen yang bersangkutan menyuruhnya duduk , ia mencari sebuah bangku yang kosong, diantara tempat yang kosong pula, dan dengan pelan ia mengeluarkan peralatan tulisnya.
                “Baiklah, kita lanjutkan pelajarannya hari ini,” demikian Sang Dosen memulai mata kuliahnya.
                Waktu makan siangpun tiba. Kami mempunyai waktu satu setengah jam untuk istirahat. Aku tengah mencatat sesuatu sementara teman-temanku mengajakku pergi. Aku mengatakan bahwa aku akan menyusulnya nanti, dan merekapun pergi. Usai mencatat, aku segera berkemas dan turun menuju lantai Ground untuk mencari makan. Ketika aku tiba pada sebuah lorong di Ground, terlihat Mina, mahasiswi baru itu, tengah duduk di antara bangku-bangku kosong. Aku berjalan dan menghampirinya.
                “Sudah waktunya untuk makan siang. Apa kau tidak ikut makan?”
                Mina menatapku dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Aku memberikan tanganku untuk bersalaman dengannya.
                “Rue, salam kenal.”
                “Ia menjabat tanganku, “Mina…”
                Aku langsung menarik tangannya, membuatnya berdiri.
                “Hey, apa yang kamu lakukan?”
                “Mengajakmu makan, aku yang traktir.”
                Mina mengambil tasnya dan mengikutiku. Aku melepaskan tangannya dan keluar menuju kantin sebelah untuk makan, sementara aku yakin bahwa Mina mengikutiku dari belakang tanpa harus kutoleh terlebih dahulu.
                “Hey, Rue! Kau telat! Kami sudah hampir menghabiskan makanan disini! Dan hey! Siapa yang kaubawa itu? Murid baru itukah? Wow!”
                “Oh maaf, dan yah… hanya mengajaknya makan saja, Brad,” jawabku.
                “Haha, aku berharap bisa punya karisma seperti itu, Rue! Daya tarik wanita yang tinggi denganmu!”
                Aku hanya  tersenyum sedikit dan memberikan tempat duduk untuk Mina. Setelahnya, aku memesan menu yang biasanya kumakan disana. Ketika aku bertanya kepada Mina, ia meminta menu yang sama denganku. Segera koki kantin langsung memasak menu kami,  dan aku tengah menghadap Mina yang saat itu menundukkan kepalanya.
                “Bersemangatlah sedikit,” gumamku.
                “Terima kasih…”
                Aku hanya mengangguk sekejap, dan seketika pesanan kami datang. Singkatnya kami makan, dan terkadang aku bertanya mengenai dirinya. Namun ia hanya sanggup menjawab beberapa dari pertanyaanku. Sisanya ia diam atau dia alihkan dengan cara balik bertanya. Ini semua berlanjut hingga kami menyelesaikan makanan kami. Usai makan, aku membayar uang makanku dan juga mentraktir Mina seperti janjiku.
                “Terima kasih, Rue… lain kali,tidak perlu repot begini…”
                Ha, baiklah. Ayo kita kembali, takut nanti kita terlambat mengikuti pelajaran.”
                “Yup…”
                Aku mengambil tasku untuk kembali melanjutkan pelajaran kembali di kampus  sementara Mina mengikutiku dari belakang. Namun gerak jalannya yang lambat membuatku menurunkan kecepatan berjalanku juga untuk menunggunya.
                Kami kembali pada sebuah ruangan kelas di kampus, dan aku duduk di paling depann seperti biasa, sedangkan Mina, ia duduk di sebelah kiriku. Ketika aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Terdengar suara bisikan gosip di belakangku. Aku hanya bisa menoleh kebelakang dan tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. Kami melanjutkan mata kuliah kami, sementara aku meminjamkan catatanku kepada Mina, untuk mengejar ketinggalan selama setengah semester lalu. Hingga usai pelajaran dan waktu pulang, aku membereskan tasku dan menghampiri seorang teman.
                “Kujemput lagi seperti biasa?”
                “Silahkan.”

                Ketika aku tengah bergegas keluar, aku melihat Mina tengah membereskan barang-barangnya, dan saat ia berjalan, aku melihatnya tengah berjalan dengan sedikit pincang. Sesekali ia memegang kaki kanannya.
                “Kau tidak apa-apa?”
                Dengan segera Mina menoleh ke arahku dan mengangkat kaki kanannya.
                “Ah, iya… um… kamu belum pulang?”
                “Sebentar lagi, dengan seorang teman. Kalau tidak keberatan, apa kau mau kujemput juga setelah kujemput temanku?” tanyaku.
                “Ah, mungkin tidak… soalnya, aku biasanya dijemput oleh papa…” jawabnya.
                “I see… baiklah, mungkin aku duluan yah,” sahutku sambil memberikan senyumku.
                Mina hanya tersenyum tipis melihatku, dan aku meninggalkan ruangan tersebut menuju ke tempat parkir untuk mengantar temanku, sementara Mina, ia berdiri di depan kampus untuk menunggu jemputannya…
# # #
                Sekian hari berlalu, hubunganku dengan Mina makin lama makin akrab. Mulai dari pelajaran kuliah dimana kami selalu bekerja sama, satu kelompok dengan teman lainnya, hingga di luar jadwal kampus, dimana kami makan bersama, kemudian duduk bersama untuk menceritakan pengalaman kami satu sama lain, dan juga terkadang aku juga membawanya pulang. Sampai-sampai kami tengah digosipkan sekelas bahwa kami seperti menjalani hubungan pacaran. Namun kami hanya bisa menyangkal sambil tersenyum malu saja. Hubungan kami bertahan hingga memasuki pertengahan semester kedua, dimana sesuatu yang aneh tengah terjadi pada Mina.
                Keanehan itu terjadi ketika suatu waktu, Mina sampai absen tanpa kabar selama 3 hari lamanya. Aku heran mengapa Mina tidak memberikan kabarnya padaku juga. Tiga hari itu aku tengah ditanya teman-temanku, mengapa Mina tidak masuk, hingga dosen pun bertanya. Namun aku hanya menjawab “tidak tahu,” hingga pada hari ketiga ia tidak masuk, aku memutuskan untuk pergi kerumahnya.
                Setelah mengantar seorang temanku pulang, aku langsung bergegas menuju ke rumah Mina untuk memastikan bahwa Mina baik-baik saja. Aku mengebut dan pada akhirnya aku sampai kerumahnya, dengan segera aku mencabut kunci motorku dan menghadap pintu rumahnya, kemudian aku mengetuk pintu rumahnya.
                Seseorang membukakan pintunya, dan kukenal ia adalah ibu dari Mina.
                “Ah, rupanya kamu, Rue… maaf, Mina sedang sakit sekarang, jadi tidak bisa dikunjungi siapa-siapa…”
                Aku menaruh rasa curiga atas kata-katanya. Ketika kutanya mengapa dengan agak tegas, ibu dari Mina tengah menunduk dan menatapku dengan raut wajah yang sepertinya pasrah.
                “Kalau begitu, setelah kamu mengetahui ini, apa kamu masih ingin berteman dengan Mina?”
                Aku terdiam sesaat, memikirkan hal buruk apa yang tengah terjadi pada Mina. Namun karena aku merasa hanya akulah yang dikenal sebagai lebih dari sahabatnya, maka aku mengangguk dengan pelan dan menjawab, “Ya… tentu saja…”
                Seketika ibunya menangis.
                “Mina… ia terkena kanker tulang pada bagian kaki kanannya… dan 3 hari ini kondisinya memburuk…. Kata dokter, tidak ada jalan lain… kakinya harus diamputasi… sementara Mina menolak, karena ia takut… ia takut akan kehilangan teman-temannya dan takut mereka berbalik mengejeknya ketika ia sudah tidak memiliki sebelah kaki lagi… karena itu, dia memutuskan untuk tetap dirumah, dan tidak mau sembuh karena tidak ingin kehilangan mereka…”
                Aku tersentak dengan sangat, dan menyandarkan diriku ke sebuah dinding  disamping pintu masuk tersebut.
                “Jadi selama ini aku melihatnya pincang itu karena… Bu, boleh aku melihatnya…?”
                Ibu dari Mina mengangguk dengan palan, dan mengizinkanku masuk. Aku tengah masuk kedalam rumah itu dan melihat Mina tengah duduk dan menonoton televisi dengan menggunakan kursi roda.
                “Mina…”
                Mina melihatku dengan panik dan segera menarik kursi rodanya menuju kamar dan mengunci pintu kamar.
                “Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu!”
                Aku berdiri di depan pintu kamarnya dan bersandar disana.
                “Aku tahu kondisimu, Mina… tapi mengapa? Mengapa tidak kaukatakan dari awal? Hingga kondisi seperti ini baru kau tidak berkata apa-apa tentang ini…?” tanyaku.
                “Pergilah, Rue! Aku tidak ingin kamu melihatku seperti ini dan menjauhiku karena ini!” Teriaknya.
                Aku terpukul, namun aku tetap berdiri disana.
                “Bukalah pintunya, Mina… aku berjanji tidak akan menertawakanmu atau semacamnya. Aku hanya ingin melihatmu…”
                Beberapa saat, pintu terbuka dengan pelan, dan Mina memajukan kursi rodanya kepadaku, kemudian berdiri dan memelukku dengan tangisannya.
                “Aku… tidak ingin kehilanganmu, Rue… aku juga, tidak ingin kehilangan teman-teman yang lainnya… karena itu aku bersikeras tidak menghilangkan kakiku karena aku takut…”
                Aku memeluknya dengan erat sambil mengelus rambutnya pelan.
                “Aku mengerti…. Tapi tidak ada yang akan mengejekmu kok… lagipula, mengapa kau bisa berpikiran kalau aku akan meninggalkanmu begitu saja setelah aku tahu kondisimu yang seperti ini…?” tanyaku.
                “Karena… karena… ada seorang teman masa kecilku juga… ketika ia kehilangan tangannya karena kecelakaan… ia jadi bahan ejekan teman-temannya, hingga ia putus sekolah dan tidak mau bertemu siapa-siapa karena takut diejek… kemudian ia tidak punya teman… hingga akhirnya ia meninggal karena menjatuhkan dirinya ke sungai… Aku takut, Rue… aku takut aku akan kehilangan teman sepertinya nanti…”
                Aku terdiam dan menghela nafasku.
                “Yah, menurutku… lebih baik tetap bertahan dengan kondisi ini, hingga kanker itu menjalar ke seluruh tubuhku, dan aku dapat meninggal dengan banyak teman yang tetap ada untukku… lebih baik aku…”
                Aku melepaskan pelukannya dan menamparnya. Tamparan tersebut terdengar oleh kedua orangtuanya yang saat  it u tengah datang melihat kami, dan aku tidak bisa menahan tangisku.
                “Apa kau berpikir mati itu bisa menyelesaikan semua ini…?” aku mulai berkata dengan suara kecil, dan kemudian aku menatapnya dengan tajam, “Dan apa kau pikir dengan kematianmu, kami akan tetap dekat darimu!? Tidak akan! Kami, khususnya aku, akan membenci dan melupakanmu kalau kau sampai meninggal hanya karena hal konyol seperti ini! Kau tahu itu!?” aku berteriak seolah aku tidak menyadari apa yang tengah aku lakukan.
                “Tapi, teman lamaku itu…”
                “Sekarang yang terluka itu kau kan!? Mengapa kau ingin samakan dengan temanmu yang bertindak bodoh itu!? Pada akhirnya ia dilupakan juga kan!? Iya kan!? Kau tahu!? Aku lebih memilih kalau kau kehilangan satu kakimu itu, daripada kau kehilangan nyawamu! Karena aku tidak ingin kehilanganmu selamanya!! Jangan berpikir bodoh dan dangkal seperti itu seolah tidak ada pilihan lain! Kalau soal biaya atau apa, biar aku yang tanggung semuanya, yang jelas, aku tidak ingin melihat orang yang kucintai ini mati dengan konyol seperti itu!!”
                Aku kehabisan kata-kata seolah aku tidak menyadari apa yang tengah kukatakan. Aku hanya tidak ingin kehilangannya, itu saja. Dan seketika tangisan Mina meledak, dan ia memelukku dengan mencengkram lengan bajuku.
                “Kata-kata yang bagus…” ujar ayah Mina sambil menepuk bahuku.
                Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, karena takut dengan kata yang terlontar dalam mulutku menyinggung Mina, atau juga tamparanku yang menyinggung orangtuanya. Namun ayah dari Mina tidak memberikan tanda bahwa ia membenciku, ia malah memelukku dengan Mina.
                “Setelah dengarkan kata-kata temanmu ini, apa Mina tetap mau, kalau Mina membuang sia-sia nyawanya lagi? Mina kan tahu kalau kami juga akan sedih karena kehilangan anak kami satu-satunya yang berharga… Biarlah hanya kaki yang hilang, asal kami dapat melihat Mina tiap saat…”
                “Papa…”
                Ayah dari Mina melepaskan pelukannya, dan Mina terlihat sudah agak tenang dari sebelumnya.
                “Aku mau dioperasi… asalkan aku tidak buat papa mama sedih, dan juga asalkan aku tidak kehilangan kamu, Rue… aku mau dioperasi…”
                Aku hanya bisa tersenyum dalam tangisanku. Mina memegangi wajahku dan mengusap airmataku, demikian aku mengusap air matanya, sementara ayah dan ibu Mina tengah menelepon ambulans untuk membawa Mina ke rumah sakit.
                “Aku akan ikut denganmu, untuk menemanimu…”
                “Apa tidak apa-apa, Rue…? Apa orang rumahmu tidak akan marah…?”
                “Tidak…. Kalau kujelaskan hal ini pada mereka…” jawabku dengan suara pelan.
                Aku membantu Mina untuk duduk, dan membawanya ke ruang depan untuk menunggu ambulans bersama dengan orangtua Mina. Mina menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, seolah tidak ingin aku meninggalkannya, demikian juga denganku, hingga ambulans datang dan membawa kami kerumah sakit untuk memeriksa Mina.
# # #
                “Malam nanti, sekitar tengah malam hingga pukul 4 pagi, barulah kami dapat mengoperasikannya. Anda datang pada saat yang tepat. Bila terlambat sedikit saja, kemungkinan ia tidak dapat tertolong lagi…”
                “Terima kasih, Dok….”
                Aku tengah duduk menemani Mina yang sedang berbaring disana, bersama dengan ayah dan ibu dari Mina. Mina mengatakan bahwa besok ia akan kehilangan kakinya, namun aku mengelus wajahnya dan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah kehilangan aku dengan teman-teman yang lainnya. Mina tersenyum, begitu juga ayah dan ibu Mina yang tengah berterima kasih padaku. Aku hanya dapat meminta maaf kepada mereka karena menampar Mina, namun mereka berkata, bila itu akan membuatnya sadar, mereka menghargai itu. Dan ayahnya juga berkata, bahwa bila aku benar-benar mencintai Mina, mereka merestui kami. Aku yang mendengarnya, langsung bermuka merah padam, malu tingkat tinggi. Ayah dan ibu Mina tertawa, demikian juga dengan Mina. Aku hanya bisa menunduk malu sambil tersenyum. Kami berada disana hingga waktu yang ditentukan dokter itu tiba. 2 orang suster tengah menarik tempat tidur Mina untuk dipindahkan ke ruang operasi.
                “Jangan takut, Mina… kamu hanya akan tidur nyenyak, dan tidak akan merasakan apapun… semua akan baik-baik saja…” gumamku sambil mencium dahi Mina. Mina tersenyum dengan menutup matanya.
                “Ya, sampai bertemu besok, Rue…”
                Aku mengangguk dan membiarkan suster itu membawa Mina pergi.
                “Pulanglah, Nak…. Biar besok kamu kemari lagi untuk mengunjunginya…”
                “Baiklah…” Aku mengangguk pelan.
                “Terima kasih untuk semuanya, Rue…”
                Aku tersenyum dan kemudian berjalan dengan pelan menuju parkiran rumah sakit, dan kemudian aku bergegas pulang kerumahku untuk istirahat. Dirumah, aku kena marah karena pulang terlambat. Namun ketika aku menjelaskan tentang kondisi Mina yang memang kuperhatikan, barulah orangtuaku terdiam dan balik bertanya. Aku hanya mengatakan, bahwa ia akan baik-baik saja, dan tidak keberatan apabila aku memiliki seorang yang cacat, namun kucintai.
# # #
                Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku terbangun dan bersiap-siap untuk segera kerumah sakit. Saat itu, pukul 6 pagi. Aku meminta izin pada orangtuaku dan menghubungi teman sekampusku untuk izin seharian. Tidak lama setelah semua persiapan selesai, aku bergegas menuju kerumah sakit.
                Dirumah sakit, dengan langkah terengah-engah aku beranjak menuju ke tempat dimana Mina berada. Dan ketika kubukakan pintunya, aku melihat ibu dari Mina tengah duduk disampingnya, sementara kulihat ke arah Mina, ia telah kehilangan kaki kanannya.
                “Ia belum terbangun…” kata ibunya.
                “Aku mengerti…”
                Ibunya membiarkan aku duduk di tempatnya dan pergi untuk membeli sesuatu, sementara ayah dari Mina menemani ibunya. Aku tengah duduk disebelah Mina, dan sesekali kulihat ke arah kakinya yang sudah tidak ada. Aku berpikir, ini mungkin akan benar-benar berat untuknya. Aku memegang tangannya dan berbisik kepadanya untuk tetap tabah dan jangan takut untuk ini semua, hingga beberapa saat kemudian, ia terbangun.
                “Selamat pagi, Mina…”
                “Rue… kaki kananku kesemutan…”
                “Aku tahu, Mina…”
                Mina duduk dan melihat ke arah kaki kanannya, dan kemudian memelukku.
                “Kakiku sudah hilang, Rue…”
                “Ya, tapi dirimu masih tetap ada bersama kami… dan itu tidak akan pernah hilang darimu…”
                “Terima kasih, Rue…”
                Kami tidak tahu saat ini ingin menangis atau tersenyum. Namun kami bersyukur dapat memiliki satu sama lain.
# # #
                Sejak saat itu, Mina menggunakan kaki palsu, aku, yang pada saat itu ingin membayar biaya pengobatannya, ditertawakan oleh ayah Mina, dengan alasan, ia dapat membayarnya sendiri, dan hanya menguji apa aku benar-benar menginginkan Mina atau tidak. Dan ketika Mina menginjak ke arah kampus, teman-temanku dan ia tengah mengkhawatirkannya, dan malah semakin peduli padanya, hingga Mina tidak kesepian. Dan Mina mengatakan padaku bahwa ia bersyukur tidak melakukan hal bodoh berkat kata-kata dariku yang membuatnya kembali bangkit, dan hingga sekarang ini, kami menikah dan memiliki rumah sendiri, namun tetap melanjutkan kuliah kami hingga tamat nanti…


The end~



No comments: