Wednesday, 22 February 2012

001. Red Heart - Kisah Seorang Pengamen Jalanan

Kisah Seorang Pengamen Jalanan

“Baiklah, mungkin hanya sebahagian ini yang bisa saya ajarkan kepada Anda… Selamat menjalani hari-hari Anda.”

Aku pamit pada Guru dari sebuah kuil di tengah hutan menuju rumah. Ketika aku tengah berjalan menuju keluar, Guru menatapku dengan tatapan kosong, “Temuilah takdirmu yang akan datang sesaat lagi,” ujar Beliau.

Aku berjalan masuk menuju kota. Ketika itu aku tengah dihadang oleh beberapa orang asing (5 orang, 3 diantaranya lelaki dan 2 diantaranya perempuan) yang kelihatannya juga hendak memasuki kota. Mereka berpakaian reyot dan memegangi alat musik masing-masing. Baru-baru aku tahu, mereka adalah klub pengamen jalanan.

“Permisi, nak… jalanan menuju tengah kota dimana yah?” Tanya seorang dari antara mereka.

Aku menunjuk kearah tenggara, kemudian mereka berterima kasih padaku, dan segera berjalan menuju tengah kota sambil bernyanyi kecil. Aku mendengarkan iramanya, irama indah yang dikombinasikan menjadi satu. Karena tergoda dengan iramanya, tanpa sengaja aku mengikuti mereka menuju ke tengah kota, hendak mendengarkan mereka beralun.
“Baiklah, sebaiknya kita memulainya. Semoga saja ada yang dapat mendengarkan lagu kita,” ujar seorang diantaranya (yang belakangan kuketahui bahwa ia ketuanya).

Mereka mulai bernyanyi di tengah kota. Aku semakin merasa tenang ketika mendengarkan alunan lagu mereka. Sekilas seperti rasa rindu dan rasa kosong. Namun ketika tengah bernyanyi, seorang diantara mereka yang meniupkan flute membunyikan nada aneh (fals). Dengan segera mereka menghentikan nyanyian mereka dan menatap tajam kearah pemain flute itu.
“Lagi-lagi kau menghancurkan bagian itu! Mengapa bisa selalu terjadi hal seperti ini!?” Bentak pemimpin itu.
“Ma… maaf… lagi-lagi aku melakukannya lagi…” Jawabnya pelan.
“Sial… kau akan menghancurkan karir kita! Sebaiknya kita mencari tema lagu lain atau tidak kita tidak akan lagi berhasil mengambil hati para penduduk!!” bentaknya keras.
“Ta… tapi kita hanya memiliki lagu ini saja… dan bukankah ketua sendiri yang menghapus lagu lain itu dari list kita?” Tanya seorang yang lainnya.
“Sial…!! Apa yang bisa kita lakukan kalau begini!?”
“Semua ini… gara-gara aku, bukan?” orang tersebut melepaskan flutenya dan berlari menuju timur dengan perasaan sangat kecewa.

Aku melihat jelas kejadian itu. Kemudian dengan diam-diam aku mengikuti kemana arah anak itu berada. Namun anehnya, ketika aku berada di tempat tersebut, ia tidak ada. Seperti hilang begitu saja.
“Aneh… kemana ia…?” pikirku.

“Hey, kamu!!” terdengar suara sayup dari arah barat. Aku menoleh kearah mereka. Rupanya, rekan-rekannya yang tadi.
“Ya?” aku menoleh dengan polos.
“Kau yang tadi kami temui di luar itu… Apa kau melihat seorang anggota kami yang satu lagi?” Tanya ketua dari pengamen tersebut.
“Aku… Errh… Tidak.” Jawabku tegas belakangan.
“Dia pasti di sekitar sini! Segera kita cari! Berpencar!!” Perintah ketua itu.

Mereka pun berpencar. Aku hanya terbengong saja melihat mereka. Ketika mereka sudah agak jauh, terdengar suara seorang perempuan dari belakang.
“Mereka… sudah pergi?”

Aku kaget dan melihat kebelakang. Rupanya seorang dari mereka yang tadi hilang. Ketika aku memandang wajahnya, ia terlihat menyembunyikan tangisannya.
“Rupanya kau disini… Anggotamu cemas melihatmu hilang mendadak. Sebaiknya kau cepat kembali pada mereka.”
“Tidak… aku tidak mau,” jawabnya,”Aku sumber masalah bagi mereka, dan aku tidak mau terus menyusahkan mereka… lebih baik aku keluar saja dari klub ini… tapi… aku tidak bisa…” lanjutnya.

Airmatanya mulai menetes. Aku mulai salah tingkah; baru kali ini aku melihat seorang perempuan remaja menangis di depanku.
“He… hey… ba… baiklah… aku tidak akan membocorkan pada mereka…” Ujarku terbata.
“Terima kasih… tolong… bawa aku pergi dari sini…”

Aku terperanjat mendengar kata-katanya. –pergi dari sini-? Ke mana? Pikirku. Ia meraih tanganku dan menariku menuju ke sebuah taman tidak jauh dari sana. Hey tunggu dulu… bila masuk ke taman itu harus ada pajaknya… well aku sedang tidak ingin keluar uang, pikirku. Haduh, tapi apa boleh buat, karena IA yang minta ditemani, jadi mau tidak mau aku juga harus keluar uang juga, pikirku.

“Permisi… biaya masuknya Rp 15.000 perorang. Dua orang jadi Rp30.000,-“
“Hoeh… tidak ada diskon di hari Sabtu?” Tanyaku dengan tidak rela keluar uang.
“Sudahlah… biarkan aku saja yang bayar…” Gumam seorang itu sambil memasukan tangannya ke dalam sakunya.
“Ti… tidak usah… biar aku saja…” Aku menahan lengannya dan mengeluarkan selembaran goban dari sakuku dengan tangan satunya lagi, dan membayarnya dengan segera.

“Baiklah, dua tiket untuk kalian. Jangan membuang tiket ini karena tiap tiket ada kode undiannya (bla bla bla…)”
“Okay. Terima kasih,” Aku menarik lengan orang itu dan masuk dengan cepat dengan tujuan menghindari kata-kata bergelombang dari penjual tiket itu.

Di dalam taman, kami tengah duduk di sebuah bangku dekat air terjun. Kebetulan tempatnya strategis, dan (agak) sepi. Jadi aku bisa leluasa untuk berbicara dengannya.
“Sebenarnya, mengenai tadi… aku mendengar dari ketua kalian… ini bukan hanya sekali kau melewatkan bagian –itu-. Apa maksudnya?” aku mulai bertanya dengan tidak yakin.
“… Lagu itu… lagu kebanggan kami. Dulu aku dapat meniup flute dengan seutuhnya. Tapi entah mengapa aku menjadi tidak bisa meniup flute di bagian itu lagi… kira-kira sejak…”

Ia bercerita panjang lebar di depanku. Aku mulai mengerti masalah apa yang ia hadapi sampai tidak bisa meniupkan flute-nya pada bagian itu. Lagu yang dinyanyikan mereka adalah lagu roman, roman yang diciptakan sendiri oleh ia dan ketua. Namun, ketika itu, ia mulai menyukai ketua klub itu. Dan rasa itulah yang membuatnya dapat bermain flute dengan bagus dan tenang. Namun, ketika diketahui bahwa ketua telah memiliki seseorang yang lain, yakni salah seorang anggota perempuan lainnya, ia terpukul. Bagian lirik lagu itu berbunyi “If I can reach your heart, you’ll gotta catched by me. But if you have someone desired, then I don’t know what to do next time we meet. (Bila aku dapat mencapai hatimu, kau akan tertangkap olehku, namun bila kau memiliki seseorang yang terpilih, maka aku tidak akan tahu apa yang akan kulakukan ketika bertemu lagi denganmu)” dan bagian lagu inilah yang membuatnya merasa selalu terpukul. Dan ketika dimainkan, hatinya selalu tergesek oleh sesuatu. Karena itu ia selalu fals dalam bermain.
“Jadi… karena cintamu tidak dibalas olehnya, kau tidak dapat mengisi lirik itu?” tanyaku.
“Ya…” Ia mulai terisak. Karena aku pernah merasakan hal yang sama, aku berdiri dan membentaknya keras.

“Dasar BODOH!!” teriakku sambil menutup mata, “Hanya karena ITU kau sampai rela dimarahi oleh orang yang selama ini kau banggakan itu!? Apa kau tidak bisa menahan rasa itu dan bermain dengan baik!?” lanjutku.

Wajahnya memerah. Entah mengapa amarahku meningkat, seperti merasa tidak rela akan sesuatu.
“Apa kalau kau tidak bisa memainkan bagian itu, ketuamu itu akan mengerti mengapa!? Tidak. Tidak sama sekali. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Ketua hanya memarahimu, dan mengatakan –Terus menerus kehilangan bait itu- tanpa memikirkan perasaannya padamu! Aku bisa merasakannya karena aku juga PERNAH mengalami hal itu! Dan mengapa kau masih lelet juga di bagian itu!?”
“Kamu tidak mengerti…”
“Aku memang tidak mengerti jalan kalian, tapi aku sangat mengerti perasaan seseorang yang tidak dapat menerima orang lain karena ia memiliki seorang yang lain! Dan apa kau senang dibentak-bentak oleh orang yang kau banggakan itu!?”

Dengan airmata berlinang ia mengatakan, “Tidak…”

“Karena itu, LAWAN rasa sakit itu! Ingat, lagu itu adalah lagu hasil dari kalian berdua! Lagu itu memang memiliki makna yang berarti! TAPI kalau kau tetap tidak dapat menguasai lagumu sendiri, sama saja seperti pecundang! Kau hendak mencari simpati dari orang yang tidak akan pernah memberikannya! Itu sama saja dengan percuma!”

Ia menangis deras. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi, dan mulai merasa bersalah. Ketika suasana itu, ia menyanyikan lagu itu, lagu yang tadi kudengar dari mereka. Aku kembali duduk di sampingnya dan mendengarkan lagunya. Alunan lagu yang khas dari suaranya yang indah. Rasanya aku teringat kembali pada kesedihanku yang sama di masa lampau.
“Ibarat Sang Buddha tengah berbicara pada Ananda. Ketika ia akan parrinibana, Sang Ananda memang tidak bisa melepaskan Beliau. Namun… karena tekad dan keterkatan seorang Ananda yang selalu dekat denganNya lah yang membuatnya sendiri tersadar akan makna hidup, dan selalu menghiasi altar Buddha dengan setia sepanjang pagi, meskipun Sang Buddha telah parrinibana… seperti itulah kisah kalian… kau memang sudah ditinggalkannya, tapi kau tidak boleh meninggalkan lagu itu, lagu yang selama ini kalian ciptakan dan kalian nyanyikan dengan susah payah… kau harus berjuang melawan rasa itu, dan melakukan yang terbaik seperti biasanya kalian lakukan sebelum berhubungan…” aku memegang bahunya dengan rasa bersalah, dan dengan pesan yang pernah disampaikan oleh Guru ketika aku menghadapi masalah yang sama.

“Aku mengerti… aku akan kembali pada mereka… aku akan membuang perasaan itu… dan aku… akan mencoba yang terbaik untuk mereka…”
“Bagus. Itulah yang harus kau lakukan. Sebagai permintaan maafku karena berbicara keras padamu, maukah kau menyanyikan lagu itu sekali lagi? Aku akan membayarmu untuk lagu itu.”
“Tidak perlu,” Gumamnya,” Kamu tidak perlu… membayarku untuk lagu ini… aku memang seorang pengamen… tapi untuk rasa terima kasih karena mengembalikan aku… simpan saja uang itu… dan anggap saja duah membayarnya atas uang tiket itu…”

Ia mulai bernyanyi kembali. Kali ini aku mendengarkannya dengan tenang. Hingga beberapa saat, entah dari arah mana, para anggotanya tengah berkumpul di sana.

“Disana kau rupanya, Emily! Kami sudah hampir menyerah mencarimu!”

Para anggota klub ia pun datang, begitu juga dengan ketuanya, yang tengah memegang flute miliknya.
“Maaf, aku berubah pikiran. Kalau kau memang ingin membuang lagu itu, tidak apa-apa. Biarlah kita memilih lagu yang lain saja,” Ujar ketua tersebut.
“Tidak. Aku tidak mau. Aku tidak mau kehilangan lagu itu. Biarkanlah aku kembali. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama lagi untuk kali ini ke seterusnya…”

Emily pun berdiri dan berjalan menuju ke hadapan mereka, kemudian berbalik menghadapku.
“Aku akan mencoba yang terbaik… apa kamu mau ikut dengan kami untuk mendengarkan kami menyanyi sekali lagi di tengah kota?” Tanya Emily.

“Dengan senang hati,” jawabku.

Kami keluar dari taman tersebut dan kembali menuju tengah kota. Di sana, mereka kembali menyanyikan lagu itu. Kali ini dengan yakin, kulihat Emily bermain flutenya dengan indah. Lirik yang semula tidak ia mainkan dengan sempurna, kini telah membaik, dan terdengar lebih halus dari sebelumnya.ia berhasil.

Usai menyanyikan lagu tersebut, para penduduk memberikan banyak tip pada mereka karena permainan lagunya yang teramat bagus. Aku juga memberikan sisa uang nengban itu pada mereka, sebagai ungkapan bangga pada mereka, terutama Emily.
“Akhirnya kau tidak miss pada lirik itu lagi. Syukurlah. Dan sekarang kita telah sukses besar. Mungkin sebaiknya kita mulai lagi bernyanyi di lain tempat, dan kemudian kita pulang dengan membawa janji pada keluarga kita masing-masing,” Puji Sang ketua.
“Ini semua… berkat dari ia…” Emily menatap ke arahku dan melangkah ke depanku.
“Sudah akan pergi, eh? Lagu yang teramat bagus. Kau berhasil,” gumamku santai.
“Ini semua berkatmu… terima kasih banyak… aku tidak akan merasakan sakit lagi… aku akan berusaha untuk menghilangkan keterikatan ini, dan berusaha yang terbaik untuk sukses…”
“Selamat jalan, dan berjuanglah untuk berikutnya.”

Kami berjabat tangan lama, dan dihentikan oleh teriakan sang ketua.
“Apa yang kaulakukan lagi, Emily! Ayo, masih banyak pendengar yang mau mendengarkan suara kita!”
“I… iya… sampai jumpa lagi yah… aku pergi dulu…”
“Sampai kita bisa bertemu lagi lain waktu… selamat jalan,” jawabku dengan agak haru.

Emily melambaikan tangannya padaku. Aku membalasnya dengan salam khasku (dua jari di atas kepala). Merekapun pergi menuju keluar dari kota. Aku hendak menangis karena perpisahan (Sudah biasanya kulakukan ketika ingin berpisah) namun kali ini kutahan dengan paksa. Aku berharap semoga ia dapat menemukan jalannya yang terbaik, Emily…

Oleh : Chandry Wartono

31 November 2010


No comments: