Wednesday, 22 February 2012

002. Red Heart - Kisah Seorang Pengamen Jalanan 2


Kisah Seorang Pengamen Jalanan 2

Cerita sambungan dari cerita Kisah Seorang Pengamen Jalanan
inspirasi sendiri

Red Heart - Kisah Seorang Pengamen Jalanan 
bagian II
10 January 2011 / 03:44

4 bulan telah berlalu. aku telah mendapatkan pekerjaanku sebagai seorang seniman panggilan. Penghasilanku juga lumayan dikatakan untung, namun, tetap saja, terkadang bila tidak ada pesanan, bokeknya bukan main.

Hari ini, bisa kukatakan sedang kurang beruntung. Mengapa? Sewaktu aku berada di pusat perbelanjaan, ada seseorang datang dan memnta paksa uangku. Yah, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, kuberikan saja beberapa uang damai itu. Eh malah ia meminta lebih.

"Hanya segini saja yang kupunya."
"Tidak mungkin sesedikit itu!!"

Yak, aku akhirnya dihajar dan seluruh isi kantongku dirampok, dan terluka pada bagian wajah dan tangan karena dicabik oleh pisau pegangannya itu. Kini aku berada di pusat kota dan duduk pada sebuah bangku.

"Hey, apa kau dengar?"
"Ya, katanya ada sekumpulan pengamen dari luar hendak bernyanyi di pusat kota."

Aku tersentak dan menatap kedua orang yang tengah bergosip itu.
"Ya, pukul 17.00 nanti mereka akan mulai..."
"hmm..."
"ah, aku mau siap-siap dulu, duluan yah!"

Aku mendekati seorang yang masih berada disana tadi.
"Pengamen?"
"Ya, apa kau tidak tahu? yang 4 bulan lalu pernah bernyanyi dengan merdu di sini..."
"hmm... I wonder..."

Aku benar-benar melupakan kejadian itu.
"Ah, kurasa kau tidak ada pada saat itu. Aku duluan yah."
"baiklah," jawabku.

Aku kembali ke rumahku dan mengambil tempat di tempat tidurku, baring dan berpikir.
"4 bulan lalu...?"

Aku berpikir sejenak, ketika terlintas sebuah nama, aku tersentak. "Ah!!"

Sekarang aku ingat. Kelompok pengamen yang pernah melibatkanku karena seseorang yang memiliki masalah cinta itu, eh? ya ya ya... aku baru ingat, "Jam 5 sore... aku tidak boleh ketinggalan.," ujarku dalam hati. 

# # #

Tepat pukul 16.30 sore, aku hendak bangun dari tempat tidurku menuju pusat kota. Dan kulihat sudah ramai disana. Aku berpikir, bagaimana caranya aku bisa mengambil tempat didepan. Belum lama berpikir, terdengar suara teriakan dari belakang, kedengarannya ia tengah dirampok. Dengan cepat aku berlari kebelakang lokasi dan kulihat seorang pemuda bertopeng tengah merebut tas dari seorang wanita setengah baya. Berhasi dicuri, ia kabur menuju ke depan kerumunan orang-orang.

Oh well... kau tidak akan lolos dariku. "
Aku mulai berlari mengejar perampok itu. Ia mengetahui sedang dikejar dan kabur. Aku tetap mengejarnya dengan tidak peduli menabrak siapapun orang di sekitarku hingga kami berlari menuju tempat pentas. 

"Tangkap pencuri itu!!" Teriakku.
Dengan cepat 3 orang di pentas tengah langsung menghadang dan menangkap pencuri itu, Aku melepaskan topeng dari pencuri itu.
"Kau rupanya, yang tadi pagi merampokku, eh?"
Ketiga orang itu melempar orang itu dan dihajar oleh penduduk sekitar. Dan ketika aku mengangkat kepalaku ke pentas, terlihat seorang bertopi yang kukenal.

"Mi... Michael?"
"Ternyata benar, itu kau!!"

Aku berjabat tangan keras dengannya. Rupanya ia adalah Sang Ketua dari kumpulan pengamen-pengamen itu 4 bulan lalu. Dengan ceat Michael menghadap panggung dan melambaikan tangannya.

"Hey emily, lihat siapa yang datang!!"

Seorang gadis yang tengah memegang flute melihat ke arah kami dari atas pentas.
"Ra... Rai...?"
"Lama tidak bertemu, Emily!"

Raut wajah Emily berubah merah. Tidak kusangka akan bertemu ia kembali setelah kulupakan wajah manisnya itu. Kemudian, teringat dengan tas yang ada di tanganku, aku hendak mengembalikan tas itu pada pemiliknya. Michael mengambil tas itu dan mengumumkannya, hingga beberapa saat wanit yang kecopetan itu datang dan mengambil tasnya. Ia memberikan imbalan berupa uang dan doa kepada kami, dan kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

"Well... It's about time, ayo semua, kita tunjukkan apa yang terbaik dari kita!!"

Michael mulai mengambil gitarnya, dan para pengamen-pengamen yang telah beranggotakan 9 orang itu sudah siap dengan alat musik masing-masing. Aku memalingkan pandanganku pada emily dan memberikan ia sebuah anggukan. Ia terlihat malu dengan menggenggam flute nya dan kemudian melihat arah lain. Dan entah mengapa aku merasa beruntung karena mendapat posisi paling depan, tepat didepan pentas.

Pertunjukkan pun dimulai. Lagu yang mereka nyanyikan, sangat berbeda dengan lagu yang dulu. Namun, kemampuan mereka menyanyi, sungguh mengundang perhatian. Memasuki tahap chorus/reff, aku terperanjat dengan sebuah lirik pada lagu itu. Namun tetap kudengarkan lagu itu dengan mengikuti irama yang dimainkannya, hingga musik selesai dimainkan.

Tepuk tangan meriah mewarnai panggung itu. Namun keanehan mulai terjadi. Saat dimana para pengamen mulai mengumpulkan sumbangan, tiba-tiba saja Emily jatuh pingsan. Aku kaget dan segera berlari menuju ke panggung, demilian dengan Michael dan beberapa rekan lainnya.
"Emily!!"

Suasana kembali menjadi gaduh. Namun Michael berhasil mengurusnya dengan memberikan pengumuman kecil. Jennifer, kekasih dari Michael, tengah memeriksa kondisi Emily, sedangkan yang lain sibuk menutup pentas.
"Tidak apa-apa... Ia hanya kelelahan saja..." ujar Jennifer yang kemudian menjelaskan bahwa Emily jarang sekali istirahat dalam waktu dekat ini. Aku menarik nafas panjang, kemudian Michael menghampiriku.
"Nanti kita bicara," katanya.

# # #

"Sementara aku akan menjaganya. Bila ia terbangun, akan kubertahukan pada mereka berdua. Maaf yah, Rai, merepotkanmu," ujar Jennifer.
"Tidak... tidak apa-apa..." Jawabku.

Aku keluar dari kamar menuju ke ruangan seni di rumahku, tempat biasanya aku melukis. Ketika aku membuka pintu, terlihat seseorang tengah mondar mandir di tengah ruangan.

"Michael? Sedang apa kau diruanganku?"
"Waa... maaf, Pal!! Aku masuk tanpa izin!! Ngomong-ngomong ini semua hasil karyamu?"
"Ya," jawabku, "...dan tidak apa-apa. Duduklah."

Aku mempersilahkan Michael duduk di meja kecil sementara aku menghidangkan teh instan dari dalam kulkas kecil didalam ruanganku.

"Mengenai Emily..." Michael membuka pembicaraan.
"Akhir-akhir ini fisiknya melemah. Aku tidak tahu pasti, namun aku yakin pasti bisa menemukan dokter di kota besar ini. Jadi kami sepakat untuk kembali kemari dan membangun sedikit pentas kecil tadi. Dan uang yang dikumpulkan, akan menjadi biaya pengobatannya selama di rumah sakit," ujarnya.
"Kelihatannya, kau tengah khawatir pada Emily, benar?" Tanyaku.

Michael terdiam, dan mulai menceritakan perihal 4 bulan kami berpisah itu. Michael tidak menyangka Emily menyukai dirinya, dan tengah sakit ketika tahu bahwa Jennifer merebutnya. Namun Michael berkata juga bahwa Emily adalah seorang gadis yang kuat. Ia rela membuatnya bahagia meskipun ia sendiri sakit. Mendengar itu, aku terdiam. Hingga Michael membuka pembicaraan kembali, yang mengatakan bahwa Emily sering membicarakan diriku selama mereka berpergian itu. Mendengar itu wajahku berubah merah, malu.

"Yang benar saja?? Mengapa ia bisa tertarik padaku?" tanyaku.
"Kau pernah menolong hatinya pada saat ia membutuhkanmu. Dan ia tipenya mudah mendekati orang yang menolongnya," jawabnya.
"Apa ia... tidak mendapat cukup perhatian dari keluarganya?"

Mendengar pertanyaanku, Michael terdiam, dan kemudian mengganti topik.

"Menurutmu... bagaimana tanggapanmu mengenai lagu baru kami itu?" tanya Michael.

Lagu itu, dimana kudengar sebuah reff yang bersyairkan : "Even I am going with the heartless, But my heart are going with you" syair ini yang kupertanyakan pada Michael, ia tertawa.
"Itu lagu yang sengaja ia buat untukmu," ujarnya.

Sampai saat ini, aku masih belum mengerti. Aku hanya mengetahui bahwa lagu itu mengandung unsur rindu. Michael menilaiku sebagai seorang seniman hebat karena aku dapat menebak apa yang terdapat di balik lagu itu. Kemudian, ketika Michael berdiri dan mengambil sebuah gambarku padaku, ia tersenyum sinis.

"Tidakkah aneh, bila seorang seniman menggambar wajah seseorang yang tengah diingatnya dengan sekilas saja?"



Aku kaget, wajah dari Emily yang kulukiskan itu tengah diketahui olehnya. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum malu, "Hahaha, kejar saja impianmu, Pal!" tawanya. 

Beberapa menit berlalu, Jennifer masuk kedalam ruangan dan bertemu dengan kami. Ia mengajak kami menuju kamarku, dimana Emily berada.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Michael.
"Ya..." jawabnya, dan kemudian ia memandangku, "Rai..."
"Lama tidak berjumpa, dan kelihatannya kau cukup mengkhawatirkan, Emi."

Aku mendekati Emily dan melihat senyumannya yang lama tidak kulihat. Ia kemudian melihat ke arah lukaku, dimana aku pernah dirampok dan terluka oeh pisau itu.
"Kamu terluka... Apa kamu baik-baik saja?"
"Seorang lelaki hendak mengabaikan lukanya. Dan aku tidak apa-apa. Akhir-akhir ini banyak perampok di kota ini, karena sejak insiden penutupan pabrik besar-besaran disana yang mengakibatkan banyak pengangguran. Jadi... Mungkin ini adalah hal biasa bagiku," jawabku.

Aku meraih tangan Emily dan berkata bahwa besok aku dan teman-teman akan membawanya untuk diperiksa. Emily hanya tersenyum dan melihatku dengan raut wajah malu. 

"Temanilah ia, Rai. Sementara aku, Michael dan rekan lain hendak membeli makanan dulu," ujar Jennifer.
"Kau pandai memasak?" tanyaku. Jennifer mengangguk, "Kalau begitu, gunakan saja apa yang ada di dapur. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada kalian nanti," lanjutku.

Merekapun meninggalkan kami di kamarku. 
"Mereka... benar-benar serasi..." gumam emily.
"Haha, tentu saja. Tapi, hal itu tidak membuatmu tertekan, Kan?" tanyaku dengan nada agak menyindir. Emily mengangguk. "Istirahatlah sejenak, setelah mereka selesai, kita akan makan dulu."

Emily menggelengkan kepalanya, dan berkata hendak tidur sebentar lagi. Aku hanya mengangguk dan menemaninya hingga ia tertidur, dan setelah itu aku meninggalkan ruangan menuju dapur.

# # #

Pada tengah malam, sekitar pukul 23.00, dimana teman-teman tengah tertidur, aku terbangun di ruangan seniku. Seperti biasa, penyakit insomnia lagi-lagi menghantuiku. Aku keluar dari ruangan dan kemudian mengambil langkah menuju teras rumah. Disana, aku melihat Emily tengah bernyanyi kecil.

"Kau tidak tidur?" tanyaku. Emily kaget dan melihatku.
"Bagaimana aku bisa tidur bila... dari sore tadi aku beristirahat selama itu...?" jawabnya, "Duduklah, Rai... ada yang hendak kubicarakan..."

Aku mengambil tempat di sebelah Emily. Kami tengah berbicara tentang kejadian-kejadian yang mereka alami pada 4 bulan terakhir. Emily berkata bahwa dirinya masih tetap sesak melihat jennifer dan Michael pada saat mereka bersama. Dan ia mengakui bahwa dirinya tidak ditentukan untuk bersama, dan terkadang ia mengatakan ia menyesal memiliki perasaan yang bertepuk sebelah tangan itu. Mendengar itu, aku meraih tangannya.

"Masih teringat akan hal itu?"
Emily menggelengkan kepalanya, "Dulu... hingga aku sulit... untuk menerima kembali situasi ini..."
"Jangan khawatir... Aku akan menjadi tempatmu berbagi bila kau mau..."

Emily menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.

"Besok, aku akan membawamu ke dokter. Kata Michael, kau cukup mengkhawatirkan dengan kondisimu yang sekarang. Kelihatannya ia masih mengkhawatirkanmu bagaimanapun juga..." 
"Karena aku... adalah saudara baginya..." gumamnya.
"Saudara?"
"Ya... Ia menganggapku tidak lebih dari saudara angkat..."
"Sudahlah, Emi... Bagaimanapun juga, ia mengkhawatirkanmu. Begitu juga denganku..."

Kami berpelukan dengan lembut. Ditengah pelukannya, ia menyanyikan sebuah lagu, lagu yang sama seperti saat pentas tadi. Aku menyanyikan lagu yang sama dengan lirik yang kuingat. Dengan lagu itu, kami memecah sunyinya malam.

# # #

Keesokan harinya, aku tengah terbangun di kursi teras, dengan Emily tengah tertidur disampingku. Wajah manis itu membuatku tidak bisa berpaling. Namun, kurasa aku hanya bisa melihatnya untuk sementara saja. Aku memegang tangannya dan hendak membangunkannya. Aku tersentak. Tangannya terasa panas. Demikian juga dengan dahinya.

"Emily, bangun... Emily!"

Aku berusaha membangunkannya, hingga suaraku terdengar oleh teman-teman, dan mereka menghampiriku.

"Ada apa, Rai!? Ada apa dengan Emi!?"
"Suhunya terlalu panas...! Segera! Kita bawa ia menuju rumah sakit!!"
"Ba... baiklah! Jennifer, Kimberly, Treno, dan Wedge, ikut aku! Yang lain, mohon jaga rumah Rai..." Michael membawa beberapa temannya dan mengikutiku yang tengah menggendong Emily ke rumah sakit terdekat.
"Bertahanlah, Emily..."

Tiba dirumah sakit, aku menendang pintu depan dan membawa Emily menuju ke kursi tunggu sambil berteriak minta pertolongan dari medis. Dua orang petugas medis datang dan membawakan tandu serta membawanya pergi menuju ke ruang pengobatan. Aku mengikuti mereka sambil melihat Emily dengan penuh khawatir. Hingga didepan dari ruang pemeriksaan, aku dihadang.
"Tunggulah diluar. Kami akan segera memeriksanya."

Aku berdiri diam melihat pintu ruangan yang ditutup seiring menyalanya lampu tanda pemeriksaan. Dari belakang, Michael dan Jennifer mengejarku.
"Rai! kau tidak apa-apa!?"

Aku hanya terdiam tanpa ekspresi dan tetap menatap pintu ruangan. Michael menghampiriku dan menepuk bahuku keras.
"Aku yakin ia akan baik-baik saja, Rai."

Aku hanya bisa diam dan tetap menunggu.
"Aku tidak tahu apapun yang terjadi padanya... Dan aku tidak mengharapkan ia menjadi seperti ini..." gumamku.
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi yakinlah bahwa ia pasti akan baik-baik saja! Kau menyukainya, bukan!? Karena itu yakinlah pada dirimu!"
"Aku... entahlah..."

Beberapa puluh menit, akhirnya lampu pemeriksaan padam, dan dari arah pintu keluarlah dua orang petugas medis tadi.

"Ba... bagaimana keadaan Emily!? Apa ia baik-baik saja!?" tanyaku.

"Ia baik-baik saja. Penyempitan pembuluh darah membuatnya susah untuk menerima terlalu banyak cahaya dan aktifitas. Kusarankan sebaiknya tidak memaksanya untuk banyak beraktifitas," Jawab medis itu.

"Terima kasih... Aku akan melihatnya sekarang."

Aku mengajak Michael dan kawan-kawan memasuki ruangan dimana Emily berada, dan aku melihat Emily tengah bercakap-cakap dengan seorang suster, yang menemaninya sambil menulis sesuat di karte yang dipegangnya.

"Ia sudah baikan, dan setelah istirahat beberapa saat, ia sudah boleh pulang," ujar suster itu dan meninggalkan ruangan.

Emily melihatku dengan raut wajah sedih.
"Rai... Kamu kelihatan pucat, mengapa...?"

Tanpa kata-kata, aku memeluk Emily.
"Ia mengkhawatirkanmu dengan kondisimu yang sekarang. Dari tadi ia berdiri didepan pintu dan menunggumu," sahut Jennifer.
"Kak Jennifer... Rai..."

Emily balas memelukku erat, "Maafkan aku..."
"Yang penting kau baik-baik saja, itu sudah cukup untukku," jawabku.
"Terima kasih... Rai..."

# # #

"Total biaya pengobatan adalah 56.000 Giru."
"56.000, eh?" sahut Michael, "Terakhir setoran yang dapat kami peroleh adalah 31.000, tapi..." 

Aku memasukkan tanganku kedalam saku, dan mengambil sebuah amplop yang kemudian kuberikan pada resepsionis.
"120.000 giru, ambil saja kembaliannya."

Teman-teman kaget, demikian juga resepsionisnya.
"Jangan khawatir. Kuberikan hanya karena kalian telah berhasil menyelamatkannya..." gumamku.

Kami meninggalkan rumah sakit. Aku tengah bergandengan dengan Emily dan berjalan bersama rombongan kembali menuju rumah.

"Setelah ini... kalian akan kemana?" tanyaku.
"Pulang," jawab Michael, "Pulang ketempat dimana kami berasal."
"I see..."

Emily menggenggam tanganku erat dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa, emily?"

Seluruh rekan menghentikan langkah mereka.
"Aku... mungkin aku akan tinggal bersama Rai..."

Aku tercengang, dan menatapnya. Dalam pikiranku, aku memang senang bila ia tinggal bersamaku. Namun akan lebih baik bila ia kembali berkumpul bersama keluarganya.

Emily, menundukkan kepalanya pada tubuhku dan menyanyi kecil"
| "I don't have grandpa |
| I don't have grandma |
| I don't have daddy |
| I don't have mom |
| |
| I don't have family |
| My friends are family |
| As long as I live along..." |

Emily menangis dan memelukku. Michael menghampiri emily dan menatapku.
"Emily adalah pengecualian..." katanya, "Ia kami rekrut karena... Sebatang kara..."

Aku tercengang.
"Pantas saja, Ia sangat dekat denganmu dulu, Michael..." aku menggaruk kepalaku.
"Ya, tapi kini ia telah memilihmu," sahutnya.

Aku terdiam, dan merangkul bahu Emily.
"Baiklah, tapi... kau juga harus berterima kasih kepada orang yang selama ini merawatmu hingga sekarang."

Emily mengangguk, ia melepaskan pelukanku, dan memeluk Michael.
"Terima kasih, Michael... Selama ini telah merawatku..."
"Hey, hey, sudahlah! Bagaimanapun, pilihanmu adalah pilihanmu, okay? Dan juga, semoga kau juga bisa bahagia," jawabnya.
"Ya..."

Emily melepaskan pelukannya, "maaf yah, kak Jennifer..." Ia kembali meraih tanganku. Jennifer tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah sudah diputuskan! Setelah kita kembali ke rumah Rai, kita akan bersiap-siap untuk pulang dari perjalanan kita yang panjang ini!" Tegas Michael. Kamipun kembali berjalan sampai kerumahku.

# # #

Tiba dirumahku, Michael dan teman-teman sibuk mengurusi perkakas mereka sementara aku bersama Emily tengah membuat bekal di dapur.
"Kira-kira begini cukup untuk bekal perjalanan pulang, Rai..."
"Baiklah, mari kita berikan pada mereka," jawabku.

Kami memberikan bekal kepada Michael dan kawan-kawan yang telah berada di beranda.
"Hati-hati dijalan..."
"Ya, dan tenang saja. Kapan ada kesempatan, kami akan kembali kemari untuk bermain-main." Balas Michael.
"Akan kutunggu kalian kembali, dan salam untuk keluarga."
"Jagalah Emily baik-baik, Pal."

Aku berjabat tangan dan berpelukan dengan Michael. Kemudian merekapun pergi meninggalkan tempat dimana kami berada.

"Rai..."
"Yah, Emily...?"

Emily menatapku, dan memelukku dengan pelan.

"Aku... mencintaimu..."

#The end#
11 January 2011
14.47

Re-write dengan ketikan : 2:10 AM 1/12/2011

By : Chandry Wartono


No comments: