Thursday 23 February 2012

004. Red Heart - Kisah Seorang dengan Cacat Permanen


Kisah Seorang dengan Cacat Permanent
Penulis : Chandry Wartono
Feb 21 2012

                        Ini hanya sebuah kisah kecil dimana seorang manusia yang tengah kehilangan anggota tubuhnya dan tidak bersemangat melanjutkan hidupnya. Namun karena semangat yang dilontarkan terus menerus oleh seseorang yang terus mendukungnya untuk hidup, maka ia menjadi seseorang yang optimis. Hidupnya berubah, dan juga, ia berbahagia.

                Oct, 28, tahun x
                Namaku Rue, dan aku adalah seorang mahasiswa di kampus St1-Comp, jurusan komputer. Beat One Trans Interest, demikian julukan kelas yang tengah kutempati. Saat itu dalam kelas yang tengah ribut pada siang itu, tengah kedatangan seorang mahasiswi baru ; pindahan dari kota sebelah.
                Mina, demikian ia mempernalkan dirinya. Ketika dosen yang bersangkutan menyuruhnya duduk , ia mencari sebuah bangku yang kosong, diantara tempat yang kosong pula, dan dengan pelan ia mengeluarkan peralatan tulisnya.
                “Baiklah, kita lanjutkan pelajarannya hari ini,” demikian Sang Dosen memulai mata kuliahnya.
                Waktu makan siangpun tiba. Kami mempunyai waktu satu setengah jam untuk istirahat. Aku tengah mencatat sesuatu sementara teman-temanku mengajakku pergi. Aku mengatakan bahwa aku akan menyusulnya nanti, dan merekapun pergi. Usai mencatat, aku segera berkemas dan turun menuju lantai Ground untuk mencari makan. Ketika aku tiba pada sebuah lorong di Ground, terlihat Mina, mahasiswi baru itu, tengah duduk di antara bangku-bangku kosong. Aku berjalan dan menghampirinya.
                “Sudah waktunya untuk makan siang. Apa kau tidak ikut makan?”
                Mina menatapku dan menggelengkan kepalanya dengan pelan. Aku memberikan tanganku untuk bersalaman dengannya.
                “Rue, salam kenal.”
                “Ia menjabat tanganku, “Mina…”
                Aku langsung menarik tangannya, membuatnya berdiri.
                “Hey, apa yang kamu lakukan?”
                “Mengajakmu makan, aku yang traktir.”
                Mina mengambil tasnya dan mengikutiku. Aku melepaskan tangannya dan keluar menuju kantin sebelah untuk makan, sementara aku yakin bahwa Mina mengikutiku dari belakang tanpa harus kutoleh terlebih dahulu.
                “Hey, Rue! Kau telat! Kami sudah hampir menghabiskan makanan disini! Dan hey! Siapa yang kaubawa itu? Murid baru itukah? Wow!”
                “Oh maaf, dan yah… hanya mengajaknya makan saja, Brad,” jawabku.
                “Haha, aku berharap bisa punya karisma seperti itu, Rue! Daya tarik wanita yang tinggi denganmu!”
                Aku hanya  tersenyum sedikit dan memberikan tempat duduk untuk Mina. Setelahnya, aku memesan menu yang biasanya kumakan disana. Ketika aku bertanya kepada Mina, ia meminta menu yang sama denganku. Segera koki kantin langsung memasak menu kami,  dan aku tengah menghadap Mina yang saat itu menundukkan kepalanya.
                “Bersemangatlah sedikit,” gumamku.
                “Terima kasih…”
                Aku hanya mengangguk sekejap, dan seketika pesanan kami datang. Singkatnya kami makan, dan terkadang aku bertanya mengenai dirinya. Namun ia hanya sanggup menjawab beberapa dari pertanyaanku. Sisanya ia diam atau dia alihkan dengan cara balik bertanya. Ini semua berlanjut hingga kami menyelesaikan makanan kami. Usai makan, aku membayar uang makanku dan juga mentraktir Mina seperti janjiku.
                “Terima kasih, Rue… lain kali,tidak perlu repot begini…”
                Ha, baiklah. Ayo kita kembali, takut nanti kita terlambat mengikuti pelajaran.”
                “Yup…”
                Aku mengambil tasku untuk kembali melanjutkan pelajaran kembali di kampus  sementara Mina mengikutiku dari belakang. Namun gerak jalannya yang lambat membuatku menurunkan kecepatan berjalanku juga untuk menunggunya.
                Kami kembali pada sebuah ruangan kelas di kampus, dan aku duduk di paling depann seperti biasa, sedangkan Mina, ia duduk di sebelah kiriku. Ketika aku menoleh ke arahnya, ia tersenyum. Terdengar suara bisikan gosip di belakangku. Aku hanya bisa menoleh kebelakang dan tersenyum sambil menggelengkan kepalaku. Kami melanjutkan mata kuliah kami, sementara aku meminjamkan catatanku kepada Mina, untuk mengejar ketinggalan selama setengah semester lalu. Hingga usai pelajaran dan waktu pulang, aku membereskan tasku dan menghampiri seorang teman.
                “Kujemput lagi seperti biasa?”
                “Silahkan.”

                Ketika aku tengah bergegas keluar, aku melihat Mina tengah membereskan barang-barangnya, dan saat ia berjalan, aku melihatnya tengah berjalan dengan sedikit pincang. Sesekali ia memegang kaki kanannya.
                “Kau tidak apa-apa?”
                Dengan segera Mina menoleh ke arahku dan mengangkat kaki kanannya.
                “Ah, iya… um… kamu belum pulang?”
                “Sebentar lagi, dengan seorang teman. Kalau tidak keberatan, apa kau mau kujemput juga setelah kujemput temanku?” tanyaku.
                “Ah, mungkin tidak… soalnya, aku biasanya dijemput oleh papa…” jawabnya.
                “I see… baiklah, mungkin aku duluan yah,” sahutku sambil memberikan senyumku.
                Mina hanya tersenyum tipis melihatku, dan aku meninggalkan ruangan tersebut menuju ke tempat parkir untuk mengantar temanku, sementara Mina, ia berdiri di depan kampus untuk menunggu jemputannya…
# # #
                Sekian hari berlalu, hubunganku dengan Mina makin lama makin akrab. Mulai dari pelajaran kuliah dimana kami selalu bekerja sama, satu kelompok dengan teman lainnya, hingga di luar jadwal kampus, dimana kami makan bersama, kemudian duduk bersama untuk menceritakan pengalaman kami satu sama lain, dan juga terkadang aku juga membawanya pulang. Sampai-sampai kami tengah digosipkan sekelas bahwa kami seperti menjalani hubungan pacaran. Namun kami hanya bisa menyangkal sambil tersenyum malu saja. Hubungan kami bertahan hingga memasuki pertengahan semester kedua, dimana sesuatu yang aneh tengah terjadi pada Mina.
                Keanehan itu terjadi ketika suatu waktu, Mina sampai absen tanpa kabar selama 3 hari lamanya. Aku heran mengapa Mina tidak memberikan kabarnya padaku juga. Tiga hari itu aku tengah ditanya teman-temanku, mengapa Mina tidak masuk, hingga dosen pun bertanya. Namun aku hanya menjawab “tidak tahu,” hingga pada hari ketiga ia tidak masuk, aku memutuskan untuk pergi kerumahnya.
                Setelah mengantar seorang temanku pulang, aku langsung bergegas menuju ke rumah Mina untuk memastikan bahwa Mina baik-baik saja. Aku mengebut dan pada akhirnya aku sampai kerumahnya, dengan segera aku mencabut kunci motorku dan menghadap pintu rumahnya, kemudian aku mengetuk pintu rumahnya.
                Seseorang membukakan pintunya, dan kukenal ia adalah ibu dari Mina.
                “Ah, rupanya kamu, Rue… maaf, Mina sedang sakit sekarang, jadi tidak bisa dikunjungi siapa-siapa…”
                Aku menaruh rasa curiga atas kata-katanya. Ketika kutanya mengapa dengan agak tegas, ibu dari Mina tengah menunduk dan menatapku dengan raut wajah yang sepertinya pasrah.
                “Kalau begitu, setelah kamu mengetahui ini, apa kamu masih ingin berteman dengan Mina?”
                Aku terdiam sesaat, memikirkan hal buruk apa yang tengah terjadi pada Mina. Namun karena aku merasa hanya akulah yang dikenal sebagai lebih dari sahabatnya, maka aku mengangguk dengan pelan dan menjawab, “Ya… tentu saja…”
                Seketika ibunya menangis.
                “Mina… ia terkena kanker tulang pada bagian kaki kanannya… dan 3 hari ini kondisinya memburuk…. Kata dokter, tidak ada jalan lain… kakinya harus diamputasi… sementara Mina menolak, karena ia takut… ia takut akan kehilangan teman-temannya dan takut mereka berbalik mengejeknya ketika ia sudah tidak memiliki sebelah kaki lagi… karena itu, dia memutuskan untuk tetap dirumah, dan tidak mau sembuh karena tidak ingin kehilangan mereka…”
                Aku tersentak dengan sangat, dan menyandarkan diriku ke sebuah dinding  disamping pintu masuk tersebut.
                “Jadi selama ini aku melihatnya pincang itu karena… Bu, boleh aku melihatnya…?”
                Ibu dari Mina mengangguk dengan palan, dan mengizinkanku masuk. Aku tengah masuk kedalam rumah itu dan melihat Mina tengah duduk dan menonoton televisi dengan menggunakan kursi roda.
                “Mina…”
                Mina melihatku dengan panik dan segera menarik kursi rodanya menuju kamar dan mengunci pintu kamar.
                “Pergilah! Aku tidak ingin melihatmu!”
                Aku berdiri di depan pintu kamarnya dan bersandar disana.
                “Aku tahu kondisimu, Mina… tapi mengapa? Mengapa tidak kaukatakan dari awal? Hingga kondisi seperti ini baru kau tidak berkata apa-apa tentang ini…?” tanyaku.
                “Pergilah, Rue! Aku tidak ingin kamu melihatku seperti ini dan menjauhiku karena ini!” Teriaknya.
                Aku terpukul, namun aku tetap berdiri disana.
                “Bukalah pintunya, Mina… aku berjanji tidak akan menertawakanmu atau semacamnya. Aku hanya ingin melihatmu…”
                Beberapa saat, pintu terbuka dengan pelan, dan Mina memajukan kursi rodanya kepadaku, kemudian berdiri dan memelukku dengan tangisannya.
                “Aku… tidak ingin kehilanganmu, Rue… aku juga, tidak ingin kehilangan teman-teman yang lainnya… karena itu aku bersikeras tidak menghilangkan kakiku karena aku takut…”
                Aku memeluknya dengan erat sambil mengelus rambutnya pelan.
                “Aku mengerti…. Tapi tidak ada yang akan mengejekmu kok… lagipula, mengapa kau bisa berpikiran kalau aku akan meninggalkanmu begitu saja setelah aku tahu kondisimu yang seperti ini…?” tanyaku.
                “Karena… karena… ada seorang teman masa kecilku juga… ketika ia kehilangan tangannya karena kecelakaan… ia jadi bahan ejekan teman-temannya, hingga ia putus sekolah dan tidak mau bertemu siapa-siapa karena takut diejek… kemudian ia tidak punya teman… hingga akhirnya ia meninggal karena menjatuhkan dirinya ke sungai… Aku takut, Rue… aku takut aku akan kehilangan teman sepertinya nanti…”
                Aku terdiam dan menghela nafasku.
                “Yah, menurutku… lebih baik tetap bertahan dengan kondisi ini, hingga kanker itu menjalar ke seluruh tubuhku, dan aku dapat meninggal dengan banyak teman yang tetap ada untukku… lebih baik aku…”
                Aku melepaskan pelukannya dan menamparnya. Tamparan tersebut terdengar oleh kedua orangtuanya yang saat  it u tengah datang melihat kami, dan aku tidak bisa menahan tangisku.
                “Apa kau berpikir mati itu bisa menyelesaikan semua ini…?” aku mulai berkata dengan suara kecil, dan kemudian aku menatapnya dengan tajam, “Dan apa kau pikir dengan kematianmu, kami akan tetap dekat darimu!? Tidak akan! Kami, khususnya aku, akan membenci dan melupakanmu kalau kau sampai meninggal hanya karena hal konyol seperti ini! Kau tahu itu!?” aku berteriak seolah aku tidak menyadari apa yang tengah aku lakukan.
                “Tapi, teman lamaku itu…”
                “Sekarang yang terluka itu kau kan!? Mengapa kau ingin samakan dengan temanmu yang bertindak bodoh itu!? Pada akhirnya ia dilupakan juga kan!? Iya kan!? Kau tahu!? Aku lebih memilih kalau kau kehilangan satu kakimu itu, daripada kau kehilangan nyawamu! Karena aku tidak ingin kehilanganmu selamanya!! Jangan berpikir bodoh dan dangkal seperti itu seolah tidak ada pilihan lain! Kalau soal biaya atau apa, biar aku yang tanggung semuanya, yang jelas, aku tidak ingin melihat orang yang kucintai ini mati dengan konyol seperti itu!!”
                Aku kehabisan kata-kata seolah aku tidak menyadari apa yang tengah kukatakan. Aku hanya tidak ingin kehilangannya, itu saja. Dan seketika tangisan Mina meledak, dan ia memelukku dengan mencengkram lengan bajuku.
                “Kata-kata yang bagus…” ujar ayah Mina sambil menepuk bahuku.
                Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa, karena takut dengan kata yang terlontar dalam mulutku menyinggung Mina, atau juga tamparanku yang menyinggung orangtuanya. Namun ayah dari Mina tidak memberikan tanda bahwa ia membenciku, ia malah memelukku dengan Mina.
                “Setelah dengarkan kata-kata temanmu ini, apa Mina tetap mau, kalau Mina membuang sia-sia nyawanya lagi? Mina kan tahu kalau kami juga akan sedih karena kehilangan anak kami satu-satunya yang berharga… Biarlah hanya kaki yang hilang, asal kami dapat melihat Mina tiap saat…”
                “Papa…”
                Ayah dari Mina melepaskan pelukannya, dan Mina terlihat sudah agak tenang dari sebelumnya.
                “Aku mau dioperasi… asalkan aku tidak buat papa mama sedih, dan juga asalkan aku tidak kehilangan kamu, Rue… aku mau dioperasi…”
                Aku hanya bisa tersenyum dalam tangisanku. Mina memegangi wajahku dan mengusap airmataku, demikian aku mengusap air matanya, sementara ayah dan ibu Mina tengah menelepon ambulans untuk membawa Mina ke rumah sakit.
                “Aku akan ikut denganmu, untuk menemanimu…”
                “Apa tidak apa-apa, Rue…? Apa orang rumahmu tidak akan marah…?”
                “Tidak…. Kalau kujelaskan hal ini pada mereka…” jawabku dengan suara pelan.
                Aku membantu Mina untuk duduk, dan membawanya ke ruang depan untuk menunggu ambulans bersama dengan orangtua Mina. Mina menggenggam tanganku dengan kedua tangannya, seolah tidak ingin aku meninggalkannya, demikian juga denganku, hingga ambulans datang dan membawa kami kerumah sakit untuk memeriksa Mina.
# # #
                “Malam nanti, sekitar tengah malam hingga pukul 4 pagi, barulah kami dapat mengoperasikannya. Anda datang pada saat yang tepat. Bila terlambat sedikit saja, kemungkinan ia tidak dapat tertolong lagi…”
                “Terima kasih, Dok….”
                Aku tengah duduk menemani Mina yang sedang berbaring disana, bersama dengan ayah dan ibu dari Mina. Mina mengatakan bahwa besok ia akan kehilangan kakinya, namun aku mengelus wajahnya dan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah kehilangan aku dengan teman-teman yang lainnya. Mina tersenyum, begitu juga ayah dan ibu Mina yang tengah berterima kasih padaku. Aku hanya dapat meminta maaf kepada mereka karena menampar Mina, namun mereka berkata, bila itu akan membuatnya sadar, mereka menghargai itu. Dan ayahnya juga berkata, bahwa bila aku benar-benar mencintai Mina, mereka merestui kami. Aku yang mendengarnya, langsung bermuka merah padam, malu tingkat tinggi. Ayah dan ibu Mina tertawa, demikian juga dengan Mina. Aku hanya bisa menunduk malu sambil tersenyum. Kami berada disana hingga waktu yang ditentukan dokter itu tiba. 2 orang suster tengah menarik tempat tidur Mina untuk dipindahkan ke ruang operasi.
                “Jangan takut, Mina… kamu hanya akan tidur nyenyak, dan tidak akan merasakan apapun… semua akan baik-baik saja…” gumamku sambil mencium dahi Mina. Mina tersenyum dengan menutup matanya.
                “Ya, sampai bertemu besok, Rue…”
                Aku mengangguk dan membiarkan suster itu membawa Mina pergi.
                “Pulanglah, Nak…. Biar besok kamu kemari lagi untuk mengunjunginya…”
                “Baiklah…” Aku mengangguk pelan.
                “Terima kasih untuk semuanya, Rue…”
                Aku tersenyum dan kemudian berjalan dengan pelan menuju parkiran rumah sakit, dan kemudian aku bergegas pulang kerumahku untuk istirahat. Dirumah, aku kena marah karena pulang terlambat. Namun ketika aku menjelaskan tentang kondisi Mina yang memang kuperhatikan, barulah orangtuaku terdiam dan balik bertanya. Aku hanya mengatakan, bahwa ia akan baik-baik saja, dan tidak keberatan apabila aku memiliki seorang yang cacat, namun kucintai.
# # #
                Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku terbangun dan bersiap-siap untuk segera kerumah sakit. Saat itu, pukul 6 pagi. Aku meminta izin pada orangtuaku dan menghubungi teman sekampusku untuk izin seharian. Tidak lama setelah semua persiapan selesai, aku bergegas menuju kerumah sakit.
                Dirumah sakit, dengan langkah terengah-engah aku beranjak menuju ke tempat dimana Mina berada. Dan ketika kubukakan pintunya, aku melihat ibu dari Mina tengah duduk disampingnya, sementara kulihat ke arah Mina, ia telah kehilangan kaki kanannya.
                “Ia belum terbangun…” kata ibunya.
                “Aku mengerti…”
                Ibunya membiarkan aku duduk di tempatnya dan pergi untuk membeli sesuatu, sementara ayah dari Mina menemani ibunya. Aku tengah duduk disebelah Mina, dan sesekali kulihat ke arah kakinya yang sudah tidak ada. Aku berpikir, ini mungkin akan benar-benar berat untuknya. Aku memegang tangannya dan berbisik kepadanya untuk tetap tabah dan jangan takut untuk ini semua, hingga beberapa saat kemudian, ia terbangun.
                “Selamat pagi, Mina…”
                “Rue… kaki kananku kesemutan…”
                “Aku tahu, Mina…”
                Mina duduk dan melihat ke arah kaki kanannya, dan kemudian memelukku.
                “Kakiku sudah hilang, Rue…”
                “Ya, tapi dirimu masih tetap ada bersama kami… dan itu tidak akan pernah hilang darimu…”
                “Terima kasih, Rue…”
                Kami tidak tahu saat ini ingin menangis atau tersenyum. Namun kami bersyukur dapat memiliki satu sama lain.
# # #
                Sejak saat itu, Mina menggunakan kaki palsu, aku, yang pada saat itu ingin membayar biaya pengobatannya, ditertawakan oleh ayah Mina, dengan alasan, ia dapat membayarnya sendiri, dan hanya menguji apa aku benar-benar menginginkan Mina atau tidak. Dan ketika Mina menginjak ke arah kampus, teman-temanku dan ia tengah mengkhawatirkannya, dan malah semakin peduli padanya, hingga Mina tidak kesepian. Dan Mina mengatakan padaku bahwa ia bersyukur tidak melakukan hal bodoh berkat kata-kata dariku yang membuatnya kembali bangkit, dan hingga sekarang ini, kami menikah dan memiliki rumah sendiri, namun tetap melanjutkan kuliah kami hingga tamat nanti…


The end~



Wednesday 22 February 2012

003. Red Heart - I Can, I Do!


I Can, I Do!

My name is Sapphire, and my hobby is dancing.

This holiday, my friend Rei asked me to accompany him to dance. But he said, I don’t need to wearing anything fancy to go on that dance. All I need, is just skills of dancing, he said.

He brought me to a Game Center, which is the largest game center in this town. I confused, and asked him, 
“why we are going there? Are we gonna dancing at here or what?”

Rei smiled to me and said, “Yes, All I want is dance together with me at ‘Pump It Up’ dance.”
“Pump It Up dance!? So that you have brought me here? Hey gimme a break. I cannot dance in that simulator or something like that, you know that!”
“Yeah, You can said that,” Rei laughed and go to the cashier to recharge his playing ticket.

After done with bussiness, Rei went back to me and take my hand, taking me to the ‘Pump It Up’ simulator, and he released my hand.
“Ókay, now watch me dance, and next, I will challenge you in double.”
“Hey, but I cannot…”
“There is anything that humans cannot do. Just try, and you will get it!”

Rei slashing the ticket, and standing at that simulator’s board. With his style of changing the song, I believe that he is experiencing that before. I am nervous. I think, if I am dancing at there, I cannot facing many people at the game center, and there are many people watching Rei now. I am a little bit shy! I shake my head hardly, and watch Rei dancing with his favourite song, “Beethoven Virus”.

Amazing! He is dancing with his eyes closed, and also he is using his hand to tapping the board, as he is like a modern dancer who is dancing on the stage. He is jumping, tapping his feet like hip-hop dancer, and also, he looked at me with his wide smile, as he will asking me for challenge him. I look around, seems like the people around him is satisfied with looking a senior dancer at the stage of the game, until he finished dancing, the peoples around him are clapping their hands, so did me.

“Wow! How can you doing it?” I asked.
“Simple. Just more practise everyday.”
“Everyday?”

Rei pulled my hands into the stage,and slashing another ticket there.
“Now, dance with me.”
“He… hey, but…”
“Don’t worry. Seems you are newbie at this Pump, eh? Well, you cannot said that you are a dancer if you cannot dance at this game.”

Rei step at my board and setting the “mode” of the game. And he leave it, asking me for steady meanwhhile he is choosing a song, the one called “Déjà vu” song.
“This song is quite easy and impressive. If you want, you can try it. Let’s go.”

Rei were stepping the “start” board and I got panic.
“Hey, I am not ready yet~!”

Rei laughed at me, and then he turned to the monitor. 

Fine, the arrows is coming! And I don’t know how to step them! Everytime I tried to step, I always feel that I will fall from that board. Sometimes I screamed because I cannot even beat an arrow. Until the music is done, I sat down at the board.
“Hey, What’s up?”
“I… I cannot…”

Rei silenced a bit and looking at me.
“Don’t worry, I once being like you, cannot step anything. But just try it more and more! You can do it after several times playing. Don’t worry, I will not laughing at you or mocking you. And yourself… Use your dance skill to facing these arrows.”

Rei encouraged me. I tried to stand up and let Rei choose a sound again. Rei choosed “Valenti” song, and again, we start another song. And aaaargh!! Again, I cannot stepping well at these arrows! And few steps to finished the song, I slipped out from the board and falling down. It feels hurt a bit, but the one which makes me shy a lot is, the people were laughing at me! I hide my face with both my hands, and started to cry.
Rei were looked at me, and then he take my hands, made them away from my face.
“Are you okay…?”

I shake my head slowly. 
“I am sorry. I should not insist you like that…”
“That is not your fault, Rei… I am the one who cannot dancing well…”
“There are no people who cannot do anything. They are always keep in their mind that they cannot do it. If you are thinking so, then forever you cannot do it. Just throw it all! Throw all your feelings! Shy, sad, or nervous… throw them all, and try to dance with your own style. I believe, you can do it well!”
“but…”
“there are no buts, Sapphire. You are a dancer, and this is your test. And I believe, you can do it. And also, if you can do them, I will always asking you to accompany me everytime I wanna dancing here. Just try a little bit for me, okay?”

I nodded my head slowly, and Rei cleaned my tears up, and clap my shoulder.
“Believe that you can do it.”
Rei started to choosing a hard-mode song, “Essa Maneira”, a classic latinese dance. I started to stand up and focus to my mind thinking, that I am a dancer, and I can do it well.

The song is starting now, and I started to make my move that I usually do when I am dancing at the stage with him these several weeks ago. I tried to throw away all of my shyness and something that bother me, and keep focus on my reflect to my body, following the arrow’s rythms, and guess what? At the score board, I get an “S” score! Wow! I don’t believe that I can do it! I hugged Rei with happiness.
“That’s what I said before, you can do it easily, right? I belive it because you are a type who can learn anything fast.”

I nodded my head and smiling at him.
“yeah, thank you, Rei… You always giving courage to me, not only in this game, but also, everything…”
“That’s nothing, Sapphire. At least, I can be your guide for everything.”

Rei smiled at me, and I released away my hug. And the peoples around us are clapping their hands, supported me too.
“Well, shall we try another song?” I asked.
“Off course! Let’s dance until sunset, shall we?”
“Fine, let’s do it!”

We dance happily until sunset, and Rei took me home.
“Hey, Sapphire. I wonder if you will dance with me again sometime at there?”
“Off course, why not?” I replied.
“Thanks a lot… well… see ya. Have a good rest.”
“anytime, Rei, and you too…”

Since that day, I always accompany Rei to dance. And I begin to think that it’s interesting at all, by dancing with him almost everytime…

I began to throw away and avoid to thinking that I cannot do something that I am not yet trying something before. Anything can do with trying, isn’t it?


By : Chandry Wartono
Nov 11 / 2011

002. Red Heart - Kisah Seorang Pengamen Jalanan 2


Kisah Seorang Pengamen Jalanan 2

Cerita sambungan dari cerita Kisah Seorang Pengamen Jalanan
inspirasi sendiri

Red Heart - Kisah Seorang Pengamen Jalanan 
bagian II
10 January 2011 / 03:44

4 bulan telah berlalu. aku telah mendapatkan pekerjaanku sebagai seorang seniman panggilan. Penghasilanku juga lumayan dikatakan untung, namun, tetap saja, terkadang bila tidak ada pesanan, bokeknya bukan main.

Hari ini, bisa kukatakan sedang kurang beruntung. Mengapa? Sewaktu aku berada di pusat perbelanjaan, ada seseorang datang dan memnta paksa uangku. Yah, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, kuberikan saja beberapa uang damai itu. Eh malah ia meminta lebih.

"Hanya segini saja yang kupunya."
"Tidak mungkin sesedikit itu!!"

Yak, aku akhirnya dihajar dan seluruh isi kantongku dirampok, dan terluka pada bagian wajah dan tangan karena dicabik oleh pisau pegangannya itu. Kini aku berada di pusat kota dan duduk pada sebuah bangku.

"Hey, apa kau dengar?"
"Ya, katanya ada sekumpulan pengamen dari luar hendak bernyanyi di pusat kota."

Aku tersentak dan menatap kedua orang yang tengah bergosip itu.
"Ya, pukul 17.00 nanti mereka akan mulai..."
"hmm..."
"ah, aku mau siap-siap dulu, duluan yah!"

Aku mendekati seorang yang masih berada disana tadi.
"Pengamen?"
"Ya, apa kau tidak tahu? yang 4 bulan lalu pernah bernyanyi dengan merdu di sini..."
"hmm... I wonder..."

Aku benar-benar melupakan kejadian itu.
"Ah, kurasa kau tidak ada pada saat itu. Aku duluan yah."
"baiklah," jawabku.

Aku kembali ke rumahku dan mengambil tempat di tempat tidurku, baring dan berpikir.
"4 bulan lalu...?"

Aku berpikir sejenak, ketika terlintas sebuah nama, aku tersentak. "Ah!!"

Sekarang aku ingat. Kelompok pengamen yang pernah melibatkanku karena seseorang yang memiliki masalah cinta itu, eh? ya ya ya... aku baru ingat, "Jam 5 sore... aku tidak boleh ketinggalan.," ujarku dalam hati. 

# # #

Tepat pukul 16.30 sore, aku hendak bangun dari tempat tidurku menuju pusat kota. Dan kulihat sudah ramai disana. Aku berpikir, bagaimana caranya aku bisa mengambil tempat didepan. Belum lama berpikir, terdengar suara teriakan dari belakang, kedengarannya ia tengah dirampok. Dengan cepat aku berlari kebelakang lokasi dan kulihat seorang pemuda bertopeng tengah merebut tas dari seorang wanita setengah baya. Berhasi dicuri, ia kabur menuju ke depan kerumunan orang-orang.

Oh well... kau tidak akan lolos dariku. "
Aku mulai berlari mengejar perampok itu. Ia mengetahui sedang dikejar dan kabur. Aku tetap mengejarnya dengan tidak peduli menabrak siapapun orang di sekitarku hingga kami berlari menuju tempat pentas. 

"Tangkap pencuri itu!!" Teriakku.
Dengan cepat 3 orang di pentas tengah langsung menghadang dan menangkap pencuri itu, Aku melepaskan topeng dari pencuri itu.
"Kau rupanya, yang tadi pagi merampokku, eh?"
Ketiga orang itu melempar orang itu dan dihajar oleh penduduk sekitar. Dan ketika aku mengangkat kepalaku ke pentas, terlihat seorang bertopi yang kukenal.

"Mi... Michael?"
"Ternyata benar, itu kau!!"

Aku berjabat tangan keras dengannya. Rupanya ia adalah Sang Ketua dari kumpulan pengamen-pengamen itu 4 bulan lalu. Dengan ceat Michael menghadap panggung dan melambaikan tangannya.

"Hey emily, lihat siapa yang datang!!"

Seorang gadis yang tengah memegang flute melihat ke arah kami dari atas pentas.
"Ra... Rai...?"
"Lama tidak bertemu, Emily!"

Raut wajah Emily berubah merah. Tidak kusangka akan bertemu ia kembali setelah kulupakan wajah manisnya itu. Kemudian, teringat dengan tas yang ada di tanganku, aku hendak mengembalikan tas itu pada pemiliknya. Michael mengambil tas itu dan mengumumkannya, hingga beberapa saat wanit yang kecopetan itu datang dan mengambil tasnya. Ia memberikan imbalan berupa uang dan doa kepada kami, dan kemudian pergi meninggalkan tempat tersebut.

"Well... It's about time, ayo semua, kita tunjukkan apa yang terbaik dari kita!!"

Michael mulai mengambil gitarnya, dan para pengamen-pengamen yang telah beranggotakan 9 orang itu sudah siap dengan alat musik masing-masing. Aku memalingkan pandanganku pada emily dan memberikan ia sebuah anggukan. Ia terlihat malu dengan menggenggam flute nya dan kemudian melihat arah lain. Dan entah mengapa aku merasa beruntung karena mendapat posisi paling depan, tepat didepan pentas.

Pertunjukkan pun dimulai. Lagu yang mereka nyanyikan, sangat berbeda dengan lagu yang dulu. Namun, kemampuan mereka menyanyi, sungguh mengundang perhatian. Memasuki tahap chorus/reff, aku terperanjat dengan sebuah lirik pada lagu itu. Namun tetap kudengarkan lagu itu dengan mengikuti irama yang dimainkannya, hingga musik selesai dimainkan.

Tepuk tangan meriah mewarnai panggung itu. Namun keanehan mulai terjadi. Saat dimana para pengamen mulai mengumpulkan sumbangan, tiba-tiba saja Emily jatuh pingsan. Aku kaget dan segera berlari menuju ke panggung, demilian dengan Michael dan beberapa rekan lainnya.
"Emily!!"

Suasana kembali menjadi gaduh. Namun Michael berhasil mengurusnya dengan memberikan pengumuman kecil. Jennifer, kekasih dari Michael, tengah memeriksa kondisi Emily, sedangkan yang lain sibuk menutup pentas.
"Tidak apa-apa... Ia hanya kelelahan saja..." ujar Jennifer yang kemudian menjelaskan bahwa Emily jarang sekali istirahat dalam waktu dekat ini. Aku menarik nafas panjang, kemudian Michael menghampiriku.
"Nanti kita bicara," katanya.

# # #

"Sementara aku akan menjaganya. Bila ia terbangun, akan kubertahukan pada mereka berdua. Maaf yah, Rai, merepotkanmu," ujar Jennifer.
"Tidak... tidak apa-apa..." Jawabku.

Aku keluar dari kamar menuju ke ruangan seni di rumahku, tempat biasanya aku melukis. Ketika aku membuka pintu, terlihat seseorang tengah mondar mandir di tengah ruangan.

"Michael? Sedang apa kau diruanganku?"
"Waa... maaf, Pal!! Aku masuk tanpa izin!! Ngomong-ngomong ini semua hasil karyamu?"
"Ya," jawabku, "...dan tidak apa-apa. Duduklah."

Aku mempersilahkan Michael duduk di meja kecil sementara aku menghidangkan teh instan dari dalam kulkas kecil didalam ruanganku.

"Mengenai Emily..." Michael membuka pembicaraan.
"Akhir-akhir ini fisiknya melemah. Aku tidak tahu pasti, namun aku yakin pasti bisa menemukan dokter di kota besar ini. Jadi kami sepakat untuk kembali kemari dan membangun sedikit pentas kecil tadi. Dan uang yang dikumpulkan, akan menjadi biaya pengobatannya selama di rumah sakit," ujarnya.
"Kelihatannya, kau tengah khawatir pada Emily, benar?" Tanyaku.

Michael terdiam, dan mulai menceritakan perihal 4 bulan kami berpisah itu. Michael tidak menyangka Emily menyukai dirinya, dan tengah sakit ketika tahu bahwa Jennifer merebutnya. Namun Michael berkata juga bahwa Emily adalah seorang gadis yang kuat. Ia rela membuatnya bahagia meskipun ia sendiri sakit. Mendengar itu, aku terdiam. Hingga Michael membuka pembicaraan kembali, yang mengatakan bahwa Emily sering membicarakan diriku selama mereka berpergian itu. Mendengar itu wajahku berubah merah, malu.

"Yang benar saja?? Mengapa ia bisa tertarik padaku?" tanyaku.
"Kau pernah menolong hatinya pada saat ia membutuhkanmu. Dan ia tipenya mudah mendekati orang yang menolongnya," jawabnya.
"Apa ia... tidak mendapat cukup perhatian dari keluarganya?"

Mendengar pertanyaanku, Michael terdiam, dan kemudian mengganti topik.

"Menurutmu... bagaimana tanggapanmu mengenai lagu baru kami itu?" tanya Michael.

Lagu itu, dimana kudengar sebuah reff yang bersyairkan : "Even I am going with the heartless, But my heart are going with you" syair ini yang kupertanyakan pada Michael, ia tertawa.
"Itu lagu yang sengaja ia buat untukmu," ujarnya.

Sampai saat ini, aku masih belum mengerti. Aku hanya mengetahui bahwa lagu itu mengandung unsur rindu. Michael menilaiku sebagai seorang seniman hebat karena aku dapat menebak apa yang terdapat di balik lagu itu. Kemudian, ketika Michael berdiri dan mengambil sebuah gambarku padaku, ia tersenyum sinis.

"Tidakkah aneh, bila seorang seniman menggambar wajah seseorang yang tengah diingatnya dengan sekilas saja?"



Aku kaget, wajah dari Emily yang kulukiskan itu tengah diketahui olehnya. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum malu, "Hahaha, kejar saja impianmu, Pal!" tawanya. 

Beberapa menit berlalu, Jennifer masuk kedalam ruangan dan bertemu dengan kami. Ia mengajak kami menuju kamarku, dimana Emily berada.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Michael.
"Ya..." jawabnya, dan kemudian ia memandangku, "Rai..."
"Lama tidak berjumpa, dan kelihatannya kau cukup mengkhawatirkan, Emi."

Aku mendekati Emily dan melihat senyumannya yang lama tidak kulihat. Ia kemudian melihat ke arah lukaku, dimana aku pernah dirampok dan terluka oeh pisau itu.
"Kamu terluka... Apa kamu baik-baik saja?"
"Seorang lelaki hendak mengabaikan lukanya. Dan aku tidak apa-apa. Akhir-akhir ini banyak perampok di kota ini, karena sejak insiden penutupan pabrik besar-besaran disana yang mengakibatkan banyak pengangguran. Jadi... Mungkin ini adalah hal biasa bagiku," jawabku.

Aku meraih tangan Emily dan berkata bahwa besok aku dan teman-teman akan membawanya untuk diperiksa. Emily hanya tersenyum dan melihatku dengan raut wajah malu. 

"Temanilah ia, Rai. Sementara aku, Michael dan rekan lain hendak membeli makanan dulu," ujar Jennifer.
"Kau pandai memasak?" tanyaku. Jennifer mengangguk, "Kalau begitu, gunakan saja apa yang ada di dapur. Aku tidak mau sesuatu terjadi pada kalian nanti," lanjutku.

Merekapun meninggalkan kami di kamarku. 
"Mereka... benar-benar serasi..." gumam emily.
"Haha, tentu saja. Tapi, hal itu tidak membuatmu tertekan, Kan?" tanyaku dengan nada agak menyindir. Emily mengangguk. "Istirahatlah sejenak, setelah mereka selesai, kita akan makan dulu."

Emily menggelengkan kepalanya, dan berkata hendak tidur sebentar lagi. Aku hanya mengangguk dan menemaninya hingga ia tertidur, dan setelah itu aku meninggalkan ruangan menuju dapur.

# # #

Pada tengah malam, sekitar pukul 23.00, dimana teman-teman tengah tertidur, aku terbangun di ruangan seniku. Seperti biasa, penyakit insomnia lagi-lagi menghantuiku. Aku keluar dari ruangan dan kemudian mengambil langkah menuju teras rumah. Disana, aku melihat Emily tengah bernyanyi kecil.

"Kau tidak tidur?" tanyaku. Emily kaget dan melihatku.
"Bagaimana aku bisa tidur bila... dari sore tadi aku beristirahat selama itu...?" jawabnya, "Duduklah, Rai... ada yang hendak kubicarakan..."

Aku mengambil tempat di sebelah Emily. Kami tengah berbicara tentang kejadian-kejadian yang mereka alami pada 4 bulan terakhir. Emily berkata bahwa dirinya masih tetap sesak melihat jennifer dan Michael pada saat mereka bersama. Dan ia mengakui bahwa dirinya tidak ditentukan untuk bersama, dan terkadang ia mengatakan ia menyesal memiliki perasaan yang bertepuk sebelah tangan itu. Mendengar itu, aku meraih tangannya.

"Masih teringat akan hal itu?"
Emily menggelengkan kepalanya, "Dulu... hingga aku sulit... untuk menerima kembali situasi ini..."
"Jangan khawatir... Aku akan menjadi tempatmu berbagi bila kau mau..."

Emily menggenggam tanganku dengan kedua tangannya.

"Besok, aku akan membawamu ke dokter. Kata Michael, kau cukup mengkhawatirkan dengan kondisimu yang sekarang. Kelihatannya ia masih mengkhawatirkanmu bagaimanapun juga..." 
"Karena aku... adalah saudara baginya..." gumamnya.
"Saudara?"
"Ya... Ia menganggapku tidak lebih dari saudara angkat..."
"Sudahlah, Emi... Bagaimanapun juga, ia mengkhawatirkanmu. Begitu juga denganku..."

Kami berpelukan dengan lembut. Ditengah pelukannya, ia menyanyikan sebuah lagu, lagu yang sama seperti saat pentas tadi. Aku menyanyikan lagu yang sama dengan lirik yang kuingat. Dengan lagu itu, kami memecah sunyinya malam.

# # #

Keesokan harinya, aku tengah terbangun di kursi teras, dengan Emily tengah tertidur disampingku. Wajah manis itu membuatku tidak bisa berpaling. Namun, kurasa aku hanya bisa melihatnya untuk sementara saja. Aku memegang tangannya dan hendak membangunkannya. Aku tersentak. Tangannya terasa panas. Demikian juga dengan dahinya.

"Emily, bangun... Emily!"

Aku berusaha membangunkannya, hingga suaraku terdengar oleh teman-teman, dan mereka menghampiriku.

"Ada apa, Rai!? Ada apa dengan Emi!?"
"Suhunya terlalu panas...! Segera! Kita bawa ia menuju rumah sakit!!"
"Ba... baiklah! Jennifer, Kimberly, Treno, dan Wedge, ikut aku! Yang lain, mohon jaga rumah Rai..." Michael membawa beberapa temannya dan mengikutiku yang tengah menggendong Emily ke rumah sakit terdekat.
"Bertahanlah, Emily..."

Tiba dirumah sakit, aku menendang pintu depan dan membawa Emily menuju ke kursi tunggu sambil berteriak minta pertolongan dari medis. Dua orang petugas medis datang dan membawakan tandu serta membawanya pergi menuju ke ruang pengobatan. Aku mengikuti mereka sambil melihat Emily dengan penuh khawatir. Hingga didepan dari ruang pemeriksaan, aku dihadang.
"Tunggulah diluar. Kami akan segera memeriksanya."

Aku berdiri diam melihat pintu ruangan yang ditutup seiring menyalanya lampu tanda pemeriksaan. Dari belakang, Michael dan Jennifer mengejarku.
"Rai! kau tidak apa-apa!?"

Aku hanya terdiam tanpa ekspresi dan tetap menatap pintu ruangan. Michael menghampiriku dan menepuk bahuku keras.
"Aku yakin ia akan baik-baik saja, Rai."

Aku hanya bisa diam dan tetap menunggu.
"Aku tidak tahu apapun yang terjadi padanya... Dan aku tidak mengharapkan ia menjadi seperti ini..." gumamku.
"Aku mengerti perasaanmu. Tapi yakinlah bahwa ia pasti akan baik-baik saja! Kau menyukainya, bukan!? Karena itu yakinlah pada dirimu!"
"Aku... entahlah..."

Beberapa puluh menit, akhirnya lampu pemeriksaan padam, dan dari arah pintu keluarlah dua orang petugas medis tadi.

"Ba... bagaimana keadaan Emily!? Apa ia baik-baik saja!?" tanyaku.

"Ia baik-baik saja. Penyempitan pembuluh darah membuatnya susah untuk menerima terlalu banyak cahaya dan aktifitas. Kusarankan sebaiknya tidak memaksanya untuk banyak beraktifitas," Jawab medis itu.

"Terima kasih... Aku akan melihatnya sekarang."

Aku mengajak Michael dan kawan-kawan memasuki ruangan dimana Emily berada, dan aku melihat Emily tengah bercakap-cakap dengan seorang suster, yang menemaninya sambil menulis sesuat di karte yang dipegangnya.

"Ia sudah baikan, dan setelah istirahat beberapa saat, ia sudah boleh pulang," ujar suster itu dan meninggalkan ruangan.

Emily melihatku dengan raut wajah sedih.
"Rai... Kamu kelihatan pucat, mengapa...?"

Tanpa kata-kata, aku memeluk Emily.
"Ia mengkhawatirkanmu dengan kondisimu yang sekarang. Dari tadi ia berdiri didepan pintu dan menunggumu," sahut Jennifer.
"Kak Jennifer... Rai..."

Emily balas memelukku erat, "Maafkan aku..."
"Yang penting kau baik-baik saja, itu sudah cukup untukku," jawabku.
"Terima kasih... Rai..."

# # #

"Total biaya pengobatan adalah 56.000 Giru."
"56.000, eh?" sahut Michael, "Terakhir setoran yang dapat kami peroleh adalah 31.000, tapi..." 

Aku memasukkan tanganku kedalam saku, dan mengambil sebuah amplop yang kemudian kuberikan pada resepsionis.
"120.000 giru, ambil saja kembaliannya."

Teman-teman kaget, demikian juga resepsionisnya.
"Jangan khawatir. Kuberikan hanya karena kalian telah berhasil menyelamatkannya..." gumamku.

Kami meninggalkan rumah sakit. Aku tengah bergandengan dengan Emily dan berjalan bersama rombongan kembali menuju rumah.

"Setelah ini... kalian akan kemana?" tanyaku.
"Pulang," jawab Michael, "Pulang ketempat dimana kami berasal."
"I see..."

Emily menggenggam tanganku erat dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa, emily?"

Seluruh rekan menghentikan langkah mereka.
"Aku... mungkin aku akan tinggal bersama Rai..."

Aku tercengang, dan menatapnya. Dalam pikiranku, aku memang senang bila ia tinggal bersamaku. Namun akan lebih baik bila ia kembali berkumpul bersama keluarganya.

Emily, menundukkan kepalanya pada tubuhku dan menyanyi kecil"
| "I don't have grandpa |
| I don't have grandma |
| I don't have daddy |
| I don't have mom |
| |
| I don't have family |
| My friends are family |
| As long as I live along..." |

Emily menangis dan memelukku. Michael menghampiri emily dan menatapku.
"Emily adalah pengecualian..." katanya, "Ia kami rekrut karena... Sebatang kara..."

Aku tercengang.
"Pantas saja, Ia sangat dekat denganmu dulu, Michael..." aku menggaruk kepalaku.
"Ya, tapi kini ia telah memilihmu," sahutnya.

Aku terdiam, dan merangkul bahu Emily.
"Baiklah, tapi... kau juga harus berterima kasih kepada orang yang selama ini merawatmu hingga sekarang."

Emily mengangguk, ia melepaskan pelukanku, dan memeluk Michael.
"Terima kasih, Michael... Selama ini telah merawatku..."
"Hey, hey, sudahlah! Bagaimanapun, pilihanmu adalah pilihanmu, okay? Dan juga, semoga kau juga bisa bahagia," jawabnya.
"Ya..."

Emily melepaskan pelukannya, "maaf yah, kak Jennifer..." Ia kembali meraih tanganku. Jennifer tersenyum dan mengangguk.

"Baiklah sudah diputuskan! Setelah kita kembali ke rumah Rai, kita akan bersiap-siap untuk pulang dari perjalanan kita yang panjang ini!" Tegas Michael. Kamipun kembali berjalan sampai kerumahku.

# # #

Tiba dirumahku, Michael dan teman-teman sibuk mengurusi perkakas mereka sementara aku bersama Emily tengah membuat bekal di dapur.
"Kira-kira begini cukup untuk bekal perjalanan pulang, Rai..."
"Baiklah, mari kita berikan pada mereka," jawabku.

Kami memberikan bekal kepada Michael dan kawan-kawan yang telah berada di beranda.
"Hati-hati dijalan..."
"Ya, dan tenang saja. Kapan ada kesempatan, kami akan kembali kemari untuk bermain-main." Balas Michael.
"Akan kutunggu kalian kembali, dan salam untuk keluarga."
"Jagalah Emily baik-baik, Pal."

Aku berjabat tangan dan berpelukan dengan Michael. Kemudian merekapun pergi meninggalkan tempat dimana kami berada.

"Rai..."
"Yah, Emily...?"

Emily menatapku, dan memelukku dengan pelan.

"Aku... mencintaimu..."

#The end#
11 January 2011
14.47

Re-write dengan ketikan : 2:10 AM 1/12/2011

By : Chandry Wartono